Minggu, 24 April 2011

KAJIAN TENTANG DASAR HUKUM WAKTU SHALAT

A. Dasar Al-Qur’an dan Hadits Tentang Waktu Shalat

a. Al-Qur’an surat al Nisa’ (4) ayat 103
    إنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً
Artinya : “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa’ (4) : 103)

b. Al-Qur’an surat Thaha (20) ayat 130 :
  وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاء اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى
Artinya : “Dan bertasbilah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang”. (QS. Thaha (20) : 130)

c. Al-Qur’an surat al Isra’ (17) ayat 78.
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَان مَشْهُوداً
Artinya : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (QS. Al-Isra’ (17) : 78).

d. Al-Qur’an surat Hud (11) ayat 114.
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِّنَ اللَّيْلِ                           
Artinya : “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang ( pagi dan petang ) dan pada bagian permulaan daripada malam”. (QS. Hud (11) : 114).

e. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a.
ﻋﻦ ﺠﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺑﺪ ﺍﻟﻟﻪ ﺮﺿﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻘﺎﻞ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺑﻰ ﺼﻠﻌﻡ ﺠﺎﺀﻩ ﺠﺑﺮﻴﻝ ﻋﻟﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻢ ﻔﻘﺎﻞ ﻟﻪ ﻘﻢ ﻔﺻﻟﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻟﻇﻬﺭ ﺤﺗﻰ ﺰﺍﻠﺖ ﺍﻟﺷﻤﺱ ﺛﻡ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻠﻌﺼﺮ ﺤﻴﻥ ﺼﺎﺭ ﻆﻞ ﻜﻞ ﺷﻴﺊ ﻤﺜﻟﻪ ﺛﻡ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻠﻤﻐﺮﺏ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻠﻰ ﺍﻠﻤﻐﺮﺏ ﺤﻴﻥ ﻭﺟﺑﺕ ﺍﻠﺸﻤﺲ ﺜﻡ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻠﻌﺸﺎﺀ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻠﻰ ﺍﻠﻌﺸﺎﺀ ﺤﻴﻦ ﻏﺎﺏ ﺍﻠﺷﻔﻕ ﺜﻢ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻠﻔﺠﺮ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻢ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺻﻟﻰ ﺍﻠﻔﺟﺮ ﺤﻴﻥ ﺑﺮﻕ ﺍﻠﻔﺠﺮ ﻮﻗﺎﻞ ﺴﻄﻊ ﺍﻠﺑﺤﺭ ﺜﻢ ﺟﺎﺀﻩ ﺑﻌﺪ ﺍﻠﻐﺪ ﺍﻠﻆﻬﺭ ﻔﻘﺍﻞ ﻗﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻠﻈﻬﺮ ﺤﻴﻥ ﺼﺍﺭ ﻅﻝ ﻜﻝ ﺷﻴﺊ ﻤﺜﻠﻪ ﺜﻢ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻠﻌﺼﺭ ﻔﻗﺎﻞ ﻘﻢ ﻔﺻﻟﻪ ﻔﺻﻟﻰ ﺍﻠﻌﺼﺮ ﺤﻴﻥ ﺼﺎﺭ ﻆﻞ ﻜﻝ ﺸﻴﺊ ﻤﺛﻟﻪ ﺜﻢ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﻘﺗﺎ ﻮﺍﺤﺩﺍ ﻠﻡ ﻴﺰﻞ ﻋﻨﻪ ﺜﻢ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻠﻌﺸﺎﺀ ﺤﻴﻥ ﺬﻫﺐ ﻨﺼﻑ ﺍﻠﻠﻴﻝ ﺍﻮﻗﺎﻞ ﺜﻠﺚ ﺍﻠﻟﻴﻝ ﻔﺼﻠﻰ ﺍﻠﻌﺷﺎﺀ ﺤﻴﻦ ﺟﺎﺀﻩ ﺣﻳﻥ ﺍﺴﻔﺮ ﺠﺪﺍ ﻔﻘﺍﻞ ﻗﻡ ﻔﺼﻠﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺜﻡ ﻘﺎﻞ ﻤﺎ    ﺑﻴﻥ ﻫﺬﻴﻥ ﺍﻟﻮﻗﺘﻴﻥ ﻭﻘﺖ ) ﺮﻭﺍﻩ ﺍﺤﻤﺪ ﻮﺍﻠﻨﺴﺎﺉ ﻮﺍﻟﺘﺭﻤﺬﻱ ﻴﻧﺤﻮﻩ ( 
Artinya : “Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkaa  telah datang kepada Nabi SAW Jibril a.s lalu berkata kepadanya ; bangunlah ! lalu bersembahyanglah, kemudian Nabi shalat Dzuhur di kala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kapadanya di waktu Ashar lalu berkata : bangunlah lalu sembahyanglah ! Kemudian Nabi shalat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata : bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat Maghrib di kala Matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Isya’ lalu berkata : bangunlah dan shalatlah ! Kemudian Nabi shalat Isya’ di kala matahari telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangunlah dan shalatlah ! Kemudian Nabi shalat fajar di kala fajar menyingsing. Atau ia berkat: di waktu fajar bersinar. Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu dzuhur, kemudian berkata kepadanya : bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat Dzuhur di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah ! kemudian Nabi shalat Ashar di kala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kapadanya di waktu Maghrib dalam waktu yang sam, tidak bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Isya’ di kala telah lalu separo malam, atau ia berkata : telah hilang sepertiga malam, Kemudian Nabi shalat Isya’. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata ; bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar. Kemudian Jibril berkata : saat dua waktu itu adalah waktu shalat.” (HR. Imam Ahmad dan Nasai dan Thirmidhi)


f. Hadits Nabi yang diriwayatkan Abdullah bin Amar r.a.
ﻋﻦ ﻋﺑﺩ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻣﺮ ﺮﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻦ ﺍﻟﻧﺑﻰ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ ﻗﺎﻝ ﻮﻗﺖ ﺍﻟﻅﻬﺮ ﺍﺫﺍ ﺯﺍﻟﺖ ﺍﻟﺷﻤﺱ ﻮﻜﺎﻦ ﻈﻞ ﻜﻝ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻜﻄﻮﻟﻪ ﻤﺎﻟﻡ ﻳﺤﺿﺮ ﺍﻟﻌﺼﺭ ﻮﻮﻗﺖ ﺍﻟﻌﺼﺭ ﻤﺎﻟﻡ ﺘﺻﻔﺮ ﺍﻟﺷﻤﺱ ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻤﺎﻟﻡ ﻴﻐﺏ ﺍﻟﺸﻔﻖ ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﺷﺎﺀ ﺍﻠﻰ ﻨﺻﻒ ﺍﻟﻳﻝ ﺍﻻﻭﺴﻁ ﻭﻭﻗﺖ ﺼﻼﺓ ﺍﻟﺻﺑﺢ ﻣﻦ ﻁﻠﻮﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻤﺎﻟﻡ ﺘﻁﻟﻊﺍﻟﺷﻣﺱ
Artinya : “Dari Abdullah bin Amar r.a. berkata : Sabda Rasulullah saw ;  Waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari, sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu selama belum datang waktu Ashar. Dan waktu ashar sebelum matahari belum menguning. Dan waktu Maghrib selama Syafaq belum terbenam (mega merah). Dan sampai yengah malam yang pertengahan. Dan waktu shubuh mulai fajar menyingsing sampai selama matahari belum terbit. (HR Muslim).

B. Kajian dari Beberapa Tafsir
a.      Surat al Nisa’ (4) ayat 103
Asbabun nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah saw. “kami tukang bepergian, berniaga, Bagaimanakah shalat kami?”. Maka Allah menerangkan ayat ini (S.4:101) yang membolehkan shalat di qashar. Wahyu tentang shalat ini kemudian terputus sampai “minassholati”. Di dalam suatu peperangan yang terjadi setelah turunnya ayat di atas Rasulullah mendirikan shalat Dzuhur. Di saat itulah kaum musyrikin berkata : “Muhammad dan teman-temannya memberi kesempatan kepada kita untuk menggempur dari belakang, tidakkah kita perhebat serbuan terhadap mereka sekarang ini?”. Maka berkatalah yang lainnya :”Sebaiknya kita ambil kesempatan lain karena nantipun mereka akan melakukan perbuatan serupa di tempat yang sama”. Maka Allah menurunkan wahyu di antara kedua waktu shalat itu (Dzuhur dan Ashar). Sebagai lanjutan ayat ini yaitu “in khiftum” sampai “adzaban muhina” (S.4:102) dan kemudian ayat shalatul khauf (S.4:103) diriwayatkan oleh Jabir yang bersumber dari Ali.
·     Tafsir Al-Misbah
Kata ﻤﻭ ﻘﻭﺘﺎ)) di ambil dari kata ( ﻮﻘﺖ ) yang berarti batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Dan setiap shalat mempunyai waktu dalam arti ada masa di mana seseorang harus menyelesaikannya. Apabila masa itu berlalu, maka pada dasarnya berlalu juga waktu shalat itu. Ada juga yang memahami kata ini dalam arti kewajiban yang bersinambung dan tidak berubah, sehingga firman-Nya melukiskan shalat sebagai ( ﻜﺗﺎﺑﺎﻣﻭﻘﻭﺘﺎ ) berarti shalat adalah kewajiban yang tidak berubah, selalu harus dilaksanakan dan tidak perna gugur apapun sebabnya. Penutup ayat ini, menurut penganut pendapat yang mengokohkan bahwa tidak alasan tentang shalat mempunyai waktu-waktu tertentu adalah sebagai alasan mengapa perintah shalat setelah mengalami keadaan gawat perlu dilakukan.
Adanya waktu untuk dan aneka ibadah yang ditetapkan islam mengharuskan adanya pembagian tehnis menyangkut masa. Ini pada gilirannya mengajar umat agama memiliki rencana jangka panjang dan pendek serta menyelesaikan tiap rencana itu pada waktunya.
·    Tafsir Al-Maraghi
Menentukan waktu untuk melakukan pekerjaan. Yakni, di dalam hukum Allah, shalat adalah suatu kewajiban yang mempunyai waktu-waktu tertentu dan sebisa mungkin harus di laksanakan di dalam waktu-waktu itu. Melaksanakan shalat pada waktunya, meskipun dengan di qashar tetap syaratnya terpenuhi adalah lebih baik daripada mengakhirkan agar dapat melaksanakannya dengan sempurna.
·    Tafsir Ibnu Katsir
Maksud dari firman Allah tersebut yakni difardhukan dan ditentukan waktunya seperti ibadah haji. Demikianlah menurut penafsiran Ibnu Abbas. Pendapat lain mengatakan silih berganti. Jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul. Artinya, jika suatu waktu berlalu, maka muncul waktu yang lain.

b.    Surat Thaha (20) ayat 130
Asbabun nuzul
Pada waktu itu Nabi sering mendapatkan cemoohan dan penghinaan dari kafir bahwa Nabi adalah tukang sihir, orang gila, penyair, dsb. Sehingga Allah memerintahkan beliau untuk senantiasa mengingat dan mensucikan Tuhannya dengan bertasbih dan shalat sebelum terbit matahari, sebelum terbenam matahari, dan di tengah malam. Dengan mengingat Allah dan dengan shalat seseorang dapat membebaskan dirinya dari kekalutan pikiran, kesedihan, dan kebimbangan. Nabi Muhammad saw sendiri perna berkata tentang faedah shalat untuk menentramkan hatinya.
Allah juga mengatakan kepada Nabi Muhammad saw bila engkau telah mengerjakan apa yang telah aku perintahkan kepadamu, yaitu shalat sebelum matahari terbit, sebelum terbenamnya, dan di tengah-tengah malam, niscaya engkau menjadi puas dan jiwamu tentram dan engkau akan ridha terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepadamu.
·    Tafsir Al-Misbah
Firman Allah ( وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّك ) “bertasbilah dengan memuji Tuhanmu” dapat difahami dalam pengertian umum, yakni perintah bertasbih dan bertahmid, menyucikan, dan   memuji Allah. Selanjutnya bila hal itu ditinjau dari dampak positif yang dihasilkannya, maka ia menurut pujian kapada Allah atas anugerahnya itu.
Ada juga ulama memahami perintah bertasbih berarti perintah melaksanakan shalat, karena shalat mengandung tasbih. Penyucian Allah dan pujian-Nya, bila dipahami demikian maka ayat ini dapat dijadikan isyarat tentang waktu-waktu shalat yang ditetapkan Allah. Firman-Nya         ( قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْس ) “sebelum terbit matahari” mengisyaratkan shalat shubuh, (وَقَبْلَ غُرُوب) “sebelum terbenamnya” berarti shalat Ashar, (   آنَاء اللَّيْل ) “pada waktu-waktu malam” menunjuk shalat Maghrib dan Isya’, sedang( أَطْرَافَ النَّهَار  )  “pada penghujung siang” menunjuk shalat shubuh.
·    Tafsir Al-Maragi
Sibuklah dengan mensucikan Allah sebelum terbit dan terbenamnya matahari pada berbagai waktu di malam hari dan pada tepi-tepi siang hari. Yang di maksud dengan waktu-waktu itu adalah waktu-waktu secara umum. Sebagaimana diriwayatkan di dalam Shohih Muslim bahwa Rasulullah bersabda
ﻟﻮﻴﻟﺢﺍﻠﻨﺎﺮﺍﺤﺪﺼﻠﻰﻘﺑﻞﻃﻠﻮﻉﺍﻠﺸﻤﺱﻮﻘﺑﻞﻏﺮﻮﺑﻬﺎ
Artinya : ”Sekali-kali tidak akan memasuki neraka seseorang yang mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum ia terbenam”.
Maka kerjakanlah shalat, kemudian beliau membaca ayat ini dan sucikanlah Allah dengan harapan kamu memperoleh dari Allah pahala yang kamu sukai/ridhoi.
·    Tafsir Ibnu Katsir
“Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari,” yakni shalat fajar “dan sebelum terbenam” yakni shalat Ashar. Penafsiran ini dikemukakan dalam shahihain (pada hadits Jarir bin Abdullah al-Bajili r.a.).“Dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu malam hari” tahajud pada saat malam, sebagaimana ulama menafsirkan dengan shalat maghrib dan Isya’. “Dan pada waktu-waktu siang hari” sebagai padanan malam hari “supaya kamu merasa senang”, penggalan terakhir ini seperti firman Allah Ta’ala, “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepada mu lalu kamu menjadi puas” .
·    Tafsir Al-Qur’anul Madjid An-Nur
Dalam tafsir ini menjelaskan bahwa surat Thaha ayat 130 tersebut memerintahkan supaya kita selalu mensucikan Allah dengan melakukan shalat, seraya memuji Dia dan memohon ampunan kepada-Nya, sebelum matahari terbit (waktu subuh), sebelum terbenamnya (waktu Ashar), pada beberapa waktu dimalam hari  (waktu maghrib dan Isya’) serta beberapa waktu disiang hari (waktu zuhur). Semoga kamu menperoleh keridhaan hati dengan pahala yang kamu cari dari menjalankan shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

c.      Surat Al-Isra’ (17) ayat 78
Asbabun nuzul
Ayat ini turun bertepatan dengan suatu peristiwa Nabi SAW dan umat islam diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu wajib dalam sehari semalam, sedang ketika itu penyampaian Nabi SAW baru bersifat lisan dan waktu-waktu pelaksanaannya pun belum lagi tercantum dalam Al-Qur’an, hingga akhirnya turunlah ayat ini.
·    Tafsir Al-Misbah
Ayat Al-Qur’an itu menuntut Nabi dan umatnya menyatakan bahwa : laksanakanlah secara berkesinambungan sesuai dengan syarat dan sunnah-sunnahnya semua jenis shalat wajib “ dari sesudah matahari tergelincir yakni condong dari pertengahan langit sampai muncul gelapnya malam, dan laksanakanlah pula quran/bacaan di waktu fajar yakni shalat subuh. Sesungguhnya bacaan diwaktu fajar yakni shalat subuh itu adalah bacaan yang disaksikan oleh malaikat.
Kata   ﻠﺪﻟﻮﻚ   terambil dari kata ﺪﻠﻚ yang bila dikaitkan dengan matahari seperti bunyi ayat ini, maka ia berarti tenggelam atau menguning atau tergelincir dari tengahnya. Ketika makna ini ditampung oleh kata tersebut, dan dengan demikian ia mengisyaratkan secara jelas dari kewajiban shalat, yaitu dhuhur dan maghrib, dan secara tersurat ia mensyaratkan juga tentang shalat ashar, karena waktu ashar bermula begitu matahari menguning. Ulama Syiah kenamaan, Thabathaba’I berpendapat bahwa kalimat ( لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْل ) mengandung  empat kewajiban shalat, yakni shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’.
Firman-Nya  وَقُرْآنَ الْفَجْر secara harfiah berarti bacaan qur’an di waktu fajar, tetapi ayat ini berbicara dalam konteks kewajiban shalat, maka tidak ada bacaan wajib pada saat fajar kecuali bacaan alquran yang dilaksanakn paling tidak dengan membaca Al-fatihah ketika shalat subuh. Dari sini semua penafsir sunnah atau syiah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah ini adalah shalat Shubuh.                                                                                                                                         
·    Tafsir Al-Maraghi
Dalam tafsir Al-Maraghi menjelaskan tentang pelaksanaan shalat yang difardhukan kepadamu setelah tergelincir matahari sampai dengan gelapnya malam. Pernyataan ini menjadikan shalat empat waktu yaitu dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan tunaikanlah shalat subuh. Dalam pada itu sunnah nabi yang mutawatir telah menerangkan pula lewat perkataan atau perbuatan beliau, rincian tentang waktu-waktu shalat, yang dilaksanakan oleh umat islam, sampai sekarang yang dilakukan dari masa nabi dan dari generasi ke generasi.
( إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ  مَشْهُوداً   ) potongan ayat tersebut menjelaskan sesungguhnya shalat shubuh adalah shalat yang disaksikan oleh para malaikat karena di waktu fajar itulah para malaikat malam dan siang bertemu dan menyaksikan pada waktu fajar itu bersama-sama. Sesudah itu malaikat malam pun naik, sedang yang tinggal adalah malaikat siang.
·    Tafsir Ibnu Katsir
Allah SWT berfirman kepada Rasulullah SAW seraya menyuruhnya mengerjakan shalat-shalat fardlu pada waktu-waktunya. “Dirikanlah shalat dan matahari tergelincir.” Ibnu abbas berkata. “Yakni tergilincirnya matahari. ” Bukti yang mendukung hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hamid dari Jabir bin Abdillah dia berkata :
ﻋﻦ ﺠﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺑﺪ ﺍﻟﻟﻪ ﺮﺿﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻘﺎﻞ : دعوت رسول الله ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ ومن شاء من اصحابه فطعموا عندى ثم خرجوا حين زالت الشمس فخرج النبي فقال: أخرج يا أبابكر فهذا حين زالت الشمس   
Artinya : Dari Jabir bin abdillah berkata : “Aku mengundang rasul dan sebahagian sahabatnya yang aku kehendaki yang makan di rumahku kemudian pulang ketika tergelincir matahari kemudian nabi saw keluar seraya bersabda: “ hai abu bakar keluarlah inilah saatnya matahari tergelincir.
Hadits di atas pun diriwayatkan dari sahal bin bakar dari abu umamah, dari Al-Aswad bin Qais, dari Nabil Al-Anzi dari Jabir. Atas dasar riwayat ini, maka saat shalat yang disebutkan dalam ayat di atas termasuk dalam shalat lima waktu. Adapun firman Allah “ mulai tergelincir matahari hingga gelap malam, mencakup shalat dhuhur, ashar, maghrib dan isya.
“Dan shalat shubuh” terdapat jumlah hadits mutawatir yang merinci waktu-waktu shalat ini yang di terima oleh para pemeluk islam, dari para ulama salaf, generasi demi generasi. “sesungguhnya shalat fajar (shubuh) itu disaksikan”.
·    Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur
Dirikanlah shalat dari matahari tergelincir hingga gelap malam dengan sempurna rukun dan syaratnya. Ayat ini mengandung petunjuk yang meliputi empat shalat. Yaitu, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya’.
( قُرْآنَ الْفَجْر ) dirikanlah shalat pada waktu fajar. Dan shalat shubuh itu disaksikan oleh para malaikat, karena pada waktu itu berkumpullah malaikat malam dan siang yang telah berjaga pada malam hari itu naik dan tinggallah malaikat yang berjaga pada siang hari. Kata Ar-Rozi pada waktu shubuh itu manusia menyaksikan bekas-bekas kekuasan Allah dan keindahan hikma-Nya di langit dan di bumi, dan pada waktu itulah orang tidur kembali perasaan pancaindranya yang berpisah dari malam selama mereka tidur.

d.    Surat Hud (11) ayat 114
Asbabun nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki setelah mencium seoarang wanita datang menghadap Rasulullah saw menerangkan peristiwa itu, maka Allah menerangkan ayat ini yang menegaskan kejahatan itu dapat di ampuni oleh Allah dengan melaksanakan shalat lima waktu. Kemudian orang itu berkata ”apakah ini hanya berlaku pada bagi orang sekarang saja?” Nabi menjawab :”untuk semua umatku”. Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhoni dari ibnu Mas’ud.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Abil Yasar kedatangan seorang wanita yang membeli kurma, ia berkata ”di rumahku ada kurma yang lebih baik dari ini”. Maka masuklah wanita itu bersamanya dan ia rangkul wanita itu serta menciumnya. Setelah itu ia menghadap kapada Rasulullah dan menerangkan kejadian tersebut. Bersabdalah Rasulullah ” beginikah engkau bila di titipi seorang istri oleh suaminya yang berperang?”. lama sekali Abil Yasar menundukkan kepalanya. Berkenaan dengan peristiwa itu turunlah surat Hud ayat 114, yang memerintahkan untuk mendirikan shalat lima waktu. Karena perbuatan yang baik akan menghapus perbuatan yang tidak baik. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya yang bersumber dari Abil Yasar.
·      Tafsir Al-Misbah
Ayat ini mengajarkan “ dan laksanakanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan rukun, syarat dan sunnah. Pada kedua tepi siang, yakni pagi dan petang, atau subuh, zhuhur, dan ashar dan pada bagian permulaan dari malam yaitu maghrib dan isya’ dan juga bisa termasuk witir dan tahajud.
Kata زُلَفا bentuk jama’ dari kata ﺯﻟﻔﺔ yaitu waktu-waktu yang saling berdekatan. Ada juga yang memahami kata ini dalam arti awal waktu setelah terbenamnya matahari. Atas dasar itulah maka banyak ulama memahami shalat di waktu itu adalah shalat yang dilaksanakan pada waktu gelap, yakni maghrib dan isya’.
·    Tafsir Al-Maraghi
Laksanakalah shalat menggunakan cara yang lurus dengan senantiasa mendirikanya pada kedua ujung siang setaiap hari dan pada bagian dari malam.
Adapun ayat yang tegas mengenai waktu sholat yang lima adalah firman Allah
فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ {17} وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيّاً وَحِينَ تُظْهِرُونَ {18}          {17-18 :{سورة الروم }

Artinya :”maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu shubuh dan baginyalah segala puji di langit dan di waktu kamu berada di waktu dzuhur” (Ar-Rum: 17-18)
Petang hari adalah saat antara dzuhur dan maghrib oleh pada permulaan kabur hari, dan shalat isya’ dilaksanakan pada akhir kabur hari yang pada saat hilangnya syafaq, bekas terakhir dari cahaya siang, shalat disebutkan secara khusus, karena ia merupakan pengkaji badan yang memberi dorongan pada iman dan membantu amal-amal lainnya.
·     Tafsir Ibnu Katsir
Sehubungan dengan firman Allah “dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang ”Ali bin abi thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Al hasan meriwyatkan dari Qatadah, Adh dhahak, dan selainya. Ia adalah sholat subuh dan ashar. Mungkin ayat ini di turunkan sebelum di tetapkannya kewajiban sholat lima waktu pada malam isro’. Sebab, sebelum ini hanya di wajibkan dua kali sholat yaitu sebelum terbit matahari dan sholat setelah terbenam matahari.
·     Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur
Tunaikanlah shalat dengan sebaik-baiknya dan sempurnanya yakni sempurna rukunnya, syaratnya dan tata caranya. Pada siang awal dan akhirnya, serta pada beberapa jam siang yang masuk ke dalam pembatasan waktu ini melengkapi semua waktu shalat, sebagaimana dijelaskan pada ayat-ayat Kami yang lalu.
Petang adalah waktu antara dzuhur dan maghrib, yaitu shalat ashar, shalat maghrib adalah isya’ yang pertama, dan ‘atamah’ adalah isya’ yang kedua yaitu ketika mega merah telah hilang. Adapun yang dimaksud dengan matahari tergelincir adalah mulai tergelincirnya matahari sampai ke permukaan malam masuk ke dalamnya, selain shalat dzuhur adalah shalat ashar, maghrib, dan isya’. Dan yang dimaksud dengan ( قُرْآنَ الْفَجْر  )   adalah shalat shubuh yang disaksikan oleh para malaikat.
  

C. Kajian Dari Kitab Hadits dan Fiqih
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a
Ø    Kitab Nailul Author
Dalam kitab ini menerangkan bahwa menurut Syarih : Hadits tersebut menunjukkan bahwa masing-masing shalat itu mempunyai dua waktu, kecuali Maghrib. Hadits ini juga menunjukkan bahwa shalat itu mempunyai waktu-waktu tertentu, tidak sah shalat yang dilakukan sebelum waktunya, hal ini menurut ijma’. Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan bahwa permulaan waktu shalat Dzuhur adalah tergelincirnya matahari. Tidak ada perbedaan pendapat yang perlu dibicarakan dalam hal ini sedang akhir waktu shalat Dzuhur adalah ketika bayang tiap-tiap benda sama dengan panjang benda itu.
Ulama salaf berbeda pendapat tentang waktu shalat maghrib. Apakah shalat maghrib mempunyai satu waktu atau dua waktu. Imam Syafi’i berpendapat bahwa shalat maghrib itu mempunyai satu waktu saja, tetapi Abu Tsaur meriwayatkan darinya bahwa shalat maghrib itu mempunyai dua waktu. Dan pendapat inilah yang benar menurut Imam Nawawi.
Imam Asy-Syaukani (mushonnif kitab ini) juga berpendapat bahwa pendapat ini yang benar, berdasarkan hadits riwayat Muslim dll. Di dalam hadits Abdullah bin Amr dari Nabi, ia berkata :
ﻮﻮﻗﺖﺻﻼﺓﺍﻠﻤﻐﺮﺐﻣﺎﻠﻡﻳﻐﺐﺍﻟﺷﻔﻖ
Artinya : ”Dan waktu shalat Maghrib itu adalah selama cahaya merah belum hilang”
Imam Nawawi menjawab hadits Jibril yang menyatakan bahwa Nabi shalat maghrib dua hari dalam satu waktu.
1.     Jibril meringkas waktu maghrib itu untuk menerangkan waktu ikhtiar, ia tidak menjelaskan waktu jawaz. Dan ini berlaku untuk semua waktu shalat, kecuali dhuhur.
2.     Hadits Jibril tersebut terjadi pada pertama kalinya di Makkah. Sedang hadits-hadits yang menerangkan tentang diulurkannya waktu Maghrib sampai terbenamnya cahaya merah itu, datang setelah hadits itu. Yaitu pada masa-masa yang akhir di Madinah. Oleh karena itu, hadits-hadits inlah yang wajib dipegang.
3.     Hadits-hadits ini sanadnya lebih sah daripada hadits penjelasan Jibril. Oleh karena harus didahulukan.

Hadits Nabi yang diriwayatkan Abdullah bin Amar r.a
Ø    Subulus Salam
Dalam kitab ini, mushonnif menjelaskan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amar ra. Beliau berkata bahwa yang dimaksud dengan condong matahari adalah condongnya matahari itu ke arah barat yaitu tergelincirnya matahari yang telah dijelaskan oleh Allah dengan firman-Nya (dalam S.Al-Isra’ ayat 78), tegakkanlah shalat setelah tergelincir matahari. Hingga bayang-bayang orang setinggi badannya, yakni waktunya berlangsung hingga bayang-bayang segala sesuatu seperti panjang sesuatu itu. Inilah batasan bagi permulaan waktu dhuhur dan akhir waktunya. Kata “ka-na”, di’athofkan kepada kata Za-lat sebagaimana telah kami tetapkan. Yang maksudnya : waktu dhuhur itu tetap berlangsung hingga terjadi bayangan seseorang sama dengan tinggi orang itu, selama belum masuk waktu Ashar. Sedangkan mulai masuknya waktu Ashar adalah dengan terjadinya bayangan-bayangan tiap-tiap sesuatu itu sama dengan panjang sesuatu itu sebagaimana dapat diambil mafhumnya.
Dan waktu shalat ashar berlangsung hingga sebelum menguningnya matahari. Telah ditetapkan oleh hadits lainnya di dalam riwayat lain ialah hingga bayang sesuatu menjadi dua kali sesuatu itu. Waktu shalat maghrib, mulai dari masuknya bundaran matahari dan berlangsung hingga tengah malam. Waktu shalat shubuh, awal waktunya mulai dari terbit fajar shodiq dan berlangsung hingga sebelum terbit matahari.

Ø    Kitab Bidayatul Mujtahid
Dalam kitab “Bidayatul Mujtahid” dijelaskan tentang perbedaan pendapat tentang lima waktu shalat.
Untuk awal waktu dhuhur, ulama’ bersepakat yaitu pada saat tergelincirnya matahari (diriwayatkan oleh Ibnu Abbas). Adapun akhir waktunya yaitu sampai panjang bayang-bayang sebuah benda sama dengan panjang bendanya (menurut Imam Malik, Syafi’I, Abu Tsaur dan Daud), ketika bayang-bayang sama dengan dua kali bendanya (menurut Abu Hanifah), dan pendapat dari Abu Yusuf yang menyatakan bahwa akhir waktu dhuhur adalah ketika bayang-bayang sama dengan bendanya.    Sedangkan untuk shalat ashar terdapat perbedaan dalam penentuan awal dan akhirnya. Untuk awal shalat ashar ada perbedaan, apakah awal sholat ashar itu gabung dengan akhir shalat dhuhur atau awal shalat ashar itu setelah habis waktu shalat dhuhur? Menurut Imam Malik akhir waktu dhuhur adalah waktu musytarok.
Sedangkan dalam penetapan akhir waktu shalat ashar ada perbedaan antara hadits Imamatu Jibril dengan hadits Abdillah, yaitu yang pertama dalam hadits Imamatu Jibril sesungguhnya akhir waktu ashar itu adalah ketika benda itu sama dengan dua kali bayang-bayangnya (pendapat Imam Syafi’i), dalam hadits Abdillah sebelum menguningnya matahari (pendapat Imam Ahmad bin Hambal), dan  dalam hadist Abu Hurairah akhir waktu ashar sebelum terbenamnya matahari.
Para ulama berbeda pendapat tentang waktu shalat maghrib. Imam Malik dan  Syafi’i berpendapat bahwa waktu shalat maghrib tidak luas yakni hanya mempunyai satu waktu (dari hadits Imamatu Jibril). Sedangkan Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur dan Daud berpendapat bahwa waktu maghrib itu luas yakni antara tenggelamnya matahari sampai tenggelamnya mega (dari hadits Abdillah). Hadits Imamatu jibril diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Yang isinya sesungguhnya nabi shalat dengan jibril 10 shalat yang waktunya ditentukan oleh malaikat jibril. Dan hadits Abdillah juga ada pada hadits baridatul Islami yang diriwayatkan oleh muslim. Hadits baridah ini diunggulkan karena turun di Madinah pada saat seseorang bertanya tentang waktu shalat sedangkan hadits jibril ini turun di Makkah.
Untuk shalat Isya’ Imam malik dan Syafi’i berpendapat bahwa awal waktu shalat Isya’ adalah hilangnya mega merah, sedangkan Abu Hanifah berpendapat yaitu ketika hilangnya mega putih. Adapun untuk akhir shalat Isya’ ada tiga pendapat, yang pertama sampai sepertiga malam (menurut Syafi’i dan Abu Hanifah), kedua sampai separoh malam (menurut Imam Malik), dan terakhir sampai terbit fajar (menurut imam Daud).

Ø    Kitab Fiqh Lima Madzhab
Dalam kitab Fiqh Lima Madzhab diterangkan bahwa :
v     Waktunya Dua Dzuhur ( Dzuhur dan Ashar )
Para ahli fiqh memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan). Kemudian setelah itu difardhukan shalat ashar, kemudian maghrib, lalu isya’, kemudian shalat shubuh secara tartib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada malam isra’ setelah sembilan tahun dari di utusnya Rasulullah. Hal demikian berdasarkan firman Allah surat Al-Isra’ ayat 78.
Para ulama Madzhab sepakat bahwa shalat tidak boleh didirikan sebelum masuk waktunya dan sepakat apabila matahari telah tergelincir berarti waktu dzuhur telah masuk, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batas ketentuan waktu ini dan sampai kapan waktu shalat itu berakhir.
Adapun menurut pendapat Imam Imamiah bahwa waktu dzuhur itu hanya khusus dari setelah tergelincirnya matahari sampai di perkirakan dapat melaksanakanya, dan waktu ashar juga khusus dari akhir waktu siang sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, dan antara yang pertama dan yang terakhir itu ada waktu musytarok (menggabungkan) antara dua shalat (dzuhur dan ashar). Dengan dasar inilah, Imamiyah membolehkan melakukan jamak (mengumpulkan) antara dzuhur dan ashar yaitu pada waktu musytarok (penggabungan),apabila waktunya telah sempit dan sisa waktunya hanya cukup untuk mendirikan shalat dzuhur saja, maka boleh mendahulukan shalat ashar dan shalat dzuhur. Kemudian shalat dzuhur pada waktu terakhir dengan qadha’..
a.    Hanafi dan Syafi’i mengatakan bahwa waktu ashar dimulai dari lebihnya bayang-bayang sesuatu (dalam ukuran panjang) dengan benda tersebut sampai terbenamnya matahari.
b.    Imam Maliki mengatakan bahwa ashar mempunyai dua waktu
i.     Di mulai dari lebihnya (dalam ukuran panjang ) bayang-bayang suatu benda dengan tersebutsampai kuningnya matahari.
ii.     Sinar matahari kekuning-kuningan sampai terbenamnya matahari.
c.    Imam hambali mengatakan yang termasuk paling akhir waktu shalat ashar adalah sampai bayang-bayang sesuatu lebih panjang dua kali dari panjang suatu benda. Dan pada saat itu boleh mendirikan shalat ashar sampai terbenamnya matahari.
v    Waktunya Dua Isya’ (Maghrib dan Isya’)
Menurut Syaifi’i dan Hambali waktu maghrib di mulai dari hilangnya sinar matahari dan berakhir sampai hilangnya cahaya merah di arah barat.
Adapun menurut Maliki sesungguhnya waktu maghrib itu sempit, ia hanya khusus dari awal tenggelamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakan shalat maghrib itu. Yang termasuk di dalamnya, cukup untuk bersuci dan adzan dan tidak boleh mengakhirkanya dari waktu ini.
Imamiyah mengatakan bahwa waktu shalat maghrib hanya khusus di awal waktu terbenamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, sedangkan waktu isya’ hanya khusus dari akhir separoh malam pada bagian pertama (kalau malam itu dibagi dua) sampai diperkirakan dapat melaksanakannya di antara dua waktu tersebut adalah waktu musytarok (penggabungan) antara shalat maghrib dan isya’. Dari itu, maka mereka (imamiyah) membolehkan melakukan shalat jama’ pada waktu musytarok ini.
Keterangan di atas kalau di hubungkan dengan orang yang memilih, tapi kalau bagi orang terpaksa baik karena tidur atau lupa, maka waktu dua shalat tersebut sampai pada terbitnya fajar, hanya waktu shalat isya’ khusus dari akhir waktu malam sampai di perkirakan dapat (cukup) untuk melaksanakannya saja dan waktu shalat maghrib khusus dari bagian pertama dari separoh malam bagian kedua sampai diperkirakan dapat (cukup) untuk melaksanakannya saja.
v    Waktu Shubuh
Mulai terbitnya fajar shodiq sampai terbitnya matahari, menurut kesepekatan semua madzhab kecuali imam maliki.
Menurut maliki waktu shubuh ada dua:
§    ikhtiyari (memilih) yaitu dari terbitnya fajar sampai terlihatnya wajah.
§    idhtisari (terpaksa) yaitu dari terlihat wajah sampai terbitnya matahari.

D. Analisa
Berdasarkan tentang keterangan-keterangan yang tersebut di atas yakni tentang kajian tafsir, hadits dan fiqh, maka penulis dapat menganalisa bahwa persoalan shalat merupakan persoalan yang fundamental dalam islam. Dalam menunaikan kewajiban shalat, kaum muslimin terikat dengan waktu-waktu yang sudah di tentukan, karena secara syar’i shalat maktubah itu menpunyai waktu-waktu yang sudah ditentukan. Sebagaimana keterangan di atas. Memang dalam Al-qur’an tidak dijelaskan secara terperinci tentang waktu-waktu shalat. Namun kita dapat menjumpai waktu-waktu shalat dengan terperinci dari dua hadits tersebut.
Dari hadits-hadits waktu shalat itulah, para ulama fiqh memberikan batasan-batasan waktu shalat dengan berbagai cara atau metode yang mereka asumsikan untuk menentukan waktu-waktu shalat tersebut. Ada sebagian mereka yang berasumsi bahwa cara menentukan waktu shalat adalah dengan melihat langsung tanda-tanda alam sebagaimana disebutkan secara tekstual dalam hadits-hadits Nabi, seperti menggunakan alat bantu tongkat istiwa’.
Dari sini jelas bahwa istilah waktu shalat merupakan hasil ijtihad para ulama ketika menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dan hadits-hadits nabi yang berkaitan dengan waktu shalat.
Dalam hal ini Islam mengakui matahari dan bulan sebagai penentu waktu (QS 6:96; 10:5) karena keduanya mempunyai periode peredaran yang teratur yang dapat dihitung. Matahari digunakan untuk penentu pergantian tahun yang ditandai dengan siklus musim. Kegiatan yang berkaitan dengan musim tentu menggunakan kalender matahari.
Namun, kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian hari dengan cermat. Padahal untuk kegiatan agama kepastian hari diperlukan. Maka untuk kegiatan agama kalender bulan (qamariyah) digunakan. Pergantian hari pada kalender bulan mudah dikenali hanya dengan melihat bentuk-bentuk bulan. Hilal pada saat maghrib menunjukkan awal bulan. Bulan setengah pada saat maghrib menunjukkan tanggal 7 atau 8. Dan bulan purnama menunjukkan tanggal 14 atau 15. Fase-fase bulan jelas waktu perubahannya dari bentuk sabit sampai kembali menjadi sabit lagi.

Ä    Matahari sebagai penentuan awal waktu sholat
Umat Islam mempergunakan hilal sebagai dasar penentuan awal bulan. Konsep hilal berkaitan dengan sabit bulan terkecil yang terbentuk setelah melewati masa konjungsi atau ijtima’, yaitu saat Matahari dan Bulan berada pada posisi bujur ekliptika yang sama. Syarat lainnya, saat Matahari terbenam, posisi Bulan masih berada di atas ufuk atau horizon.
Secara teoretis, seluruh bundaran Matahari sudah terbenam apabila posisi tinggi Matahari berada 50 menit busur (0,83 derajat) di bawah horizon atau punya jarak zenit (busur lingkaran besar dari titik zenit pengamat ke pusat bundaran Matahari) sudah mencapai 90 derajat 50 menit busur.
Posisi terbenam Matahari itu sudah memperhitungkan pengaruh refraksi angkasa Bumi di horizon yang memosisikan citra Matahari di langit 34 menit busur lebih tinggi dari yang seharusnya dan semidiameter (jari-jari) bundaran Matahari sebesar 16 menit busur.
Dengan keterangan di atas dan mengingat dari ketentuan syar’i tentang waktu-waktu shalat di atas, yakni tergelincirnya matahari, terbenam matahari, fajar menyingsing, dll, seluruhnya merupakan fenomena matahari. Oleh karena itulah, waktu-waktu shalat tersebut didasarkan pada fenomena matahari, kemudian diterjemahkan dengan kedudukan atau posisi matahari pada saat-saat membuat atau mewujudkan keadaan-keadaan yang merupakan pertanda bagi awal atau akhir waktu shalat.
Sebagaimana keterangan di atas bahwa kedudukan matahari sebagai penentuan awal waktu shalat, yaitu sebagaimana penjelasan berikut :
a.    Waktu Shalat Dzuhur
Waktu shalat dzuhur dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala, namun sudah mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi. Adapun zawalus syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala. Dan yang harus di ingat adalah ketika matahari berada di sudut waktu meredian, maka pada saat itu menunjukkan sudut waktu 0° dan ketika itu waktu menunjukkan pukul 12 menurut waktu matahari hakiki.
Dan waktu untuk shalat dzuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata. Bayangkan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu Dzuhur berakhir dan masuklah waktu shalat ashar.
Dan ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun di sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit. Waktu itu di sebut waktu istiwa’. Pada saat itu, belum masuk waktu dzuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus syamsi atau matahari tergelincirdan saat itulah masuk waktu Dzuhur.
b.    Waktu Shalat Ashar
Waktu shalat ashar dimulai tepat ketika waktu shalat dzuhur sudah habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat ashar ketika matahari tenggelam di ufuk barat.
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq. Bahkan ada hadits yang mengatakan bahwa waktu shalat ashar sudah berakhir sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat sebelum terbenam.
Menurut sebagian ulama shalat ashar adalah shalat wustha. Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailur Authar jilid 1 halaman 311 menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat wustha. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yamg mengatakan bahwa shalat wustha adalah shalat ashar.
Dalam sebuah buku yang berjudul ilmu falak praktis (Metode Hisab Rukyah Praktis dan Solusi permasalahannya) karangan Bapak Ahmad Izzuddin M.Ag menerangkan bahwa waktu shalat ashar adalah ketika matahari mulai berkulminasi atau berada di meredian sesuatu/benda yang tegak lurus yang berada pada permulaan bumi belum pasti memiliki bayangan. Bayangan itu akan terjadi ketika harga lintang tempat dan harga deklinasi berbeda.
c.    Waktu Shalat Maghrib
Waktu shalat maghrib dimulai sejak terbenamnya matahari yaitu waktu di mana piringan matahari bersinggungan dengan ufuk, dan hal ini sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama. Dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi’iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Adapun menurut riwayat dari golongan Syiah adalah waktu shalat maghrib itu berakhir sampai waktu bintang bertaburan.
d.    Waktu Shalat Isya’
Waktu shalat isya’ dimulai apabila matahari sudah terbenam dan di bawah ufuk barat, permukaan bumi tidak langsung menjadi gelap. Dan ada juga yang mengatakan bahwa waktu sahalat isya’ dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat shubuh.
Sedangkan waktu mukhtar (pilihan) untuk shalat isya’ adalah sejak masuk waktu hingga sepertiga malam atau tengah malam.
e.    Waktu Shalat Fajr (Shubuh)
Waktu shalat shubuh dimulai sejak terbinya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.
Ada dua macam fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq.fajar kadzib adalah fajar yang bohong sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor srigala kemudian langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kadzib. Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shubuh.
Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama di sebut fajar kadzib dan fajar yang kedua di sebut fajar shadiq. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh.
Adapun batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana di sebutkan dalam hadits berikut ini.
ﻋﻦ ﻋﺑﺩ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻣﺮ ﺮﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻦ ﺍﻟﻧﺑﻰ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ ﻗﺎﻝﻭﻗﺖ ﺼﻼﺓ ﺍﻟﺻﺑﺢ ﻣﻦ ﻁﻠﻮﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻤﺎﻟﻡ ﺘﻁﻟﻊﺍﻟﺷﻣﺱ
Artinya :”Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Dan waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq)sampai sebelum terbitnya matahari.” (HR Muslim).
f.    Waktu Imsak
Imsak adalah Waktu tertentu sebelum subuh, saat seseorang bersiap-siap mulai shalat shubuh dan berpuasa. Adapun munculnya ketetapan imsak ini berhujjah pada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit sebagaimana berikut :
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : تَسَحَّرْنَا مَع رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ َ ثُمَّ الصَّلاَةِ   قَالَ : اَنَسٍ قُلْتُ لِزَيْدٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ الاَذَان وَالسَّحُوْرِ؟  قَالَ: قَدْرُخَمْسِيْنَ آيَةًِ قَامَ
Artinya :
    “Dari Zaid bin Thabit berkata: Kami bersahur bersama Rasulullah, kemudian baginda bangkit untuk solat Subuh. Anas berkata, bertanya kepada Zaid, berapa jarak antara azan subuh dan sahur? Beliau menjawab: Sekitar bacaan lima puluh ayat.” (H/R Bukhari 4/18. Muslim 1097).
 Berdasarkan hadits di atas bermakna bahwa setelah selesai bersahur, adzan dilaungkan selepas itu siapa yang hendak mengambil wudlu barulah shalat shubuh. Jadi, tempo di antara adzan, wudlu, shalat sunnat shubuh, dan shalat shubuh itu sendiri adalah lebih kurang 50 ayat.
Sebagian kaum muslimin memberi nama jarak antara sahur dengan shalat shubuh dengan istilah imsak yang berarti berjaga-jaga Tidak tepat pendapat sebagian kaum muslimin yang mengatakan bahwa imsak itu bid’ah. Rasulullah saw juga berjaga-jaga (imsak) dengan menghentikan sahur kira-kira lima puluh ayat dari adzan shubuh.Juga tidak tepat pendapat sebagan kaum muslimin yang menyatakan terlarang untuk makan bagi orang yang berpuasa (shooimiin) ketika sudah masuk imsak. Ketika masuk waktu imsak masi diperbolehakan makan dan minum.Yang tepat adalah, ketika jarak waktu sahur dan shalat shubuh kira-kira 50 ayat, sebaiknya sudah menghentikan sahurnya dan bersiap-siap untuk mendirikan shalat shubuh.
  Sebetulnya puasa dimulai sejak terbit fajar shodiq sebagaimana dimulainya waktu salat shubuh. Oleh karena itu puasa yang dimulai sejak imsak, adalah merupakan ikhtiyat, sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari shahabat Anas tentang imsak. Dari Anas dari Zaid bin Tsabit, ia berkata "Kami sahur bersama Nabi Muhammad saw. kemudian kami melakukan salat (shubuh). "Saya bertanya, "Berapa lama ukuran antara sahur dan salat shubuh ?" Nabi bersabda : Seukuran membaca 50 ayat Al-Qur'an.
Para ulama berbeda pendapat tentang lama membaca 50 ayat tersebut yakni diantaranya :
v    Dalam kitab Nailul Authar disebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat al-Qur'an seukuran melakukan wudlu,
v    Dalam kitab al-Muhtasar al-Muhadzdzab halaman 58 dijelaskan bahwa waktu imsak itu sekitar 12 menit sebelum  waktu terbitnya fajar. Dalam al-Muhtasar juga dijelaskan bahwa ihtiyat untuk melakukan salat wajib, yaitu 2 menit untuk Asar dan Isyak, 3 menit untuk Magrib, 4 menit untuk Zuhur dan 5 menit untuk Subuh.
v    Dalam kitab Al-Khulasatul Wafiyyah yang disusun oleh Kyai Zubair, pada halaman 99 disebutkan bahwa imsak seukuran membaca 50 ayat yang pertengahan secara tartil, yaitu sekitar 7 atau 8 menit.
v    Sedangkan menurut Tafsir al-Manar juz 2 halaman 185 disebutkan bahwa jarak waktu sahur dengan waktu shalat shubuh (fajar) sekitar 5 menit.
v     Sementara itu, H. Saadoe'ddin Djambek biasa mempergunakan 10 menit sebelum shubuh. Pendapat yang terakhir ini yang banyak digunakan pada penyusunan jadwal imsakiyah di Indonesia.
g.    Waktu Terbit Matahari
Matahari terbit adalah waktu apabila bagian sudut atas matahari berada di atas garisan ufuk ketara yang tidak terhalang. Ketika matahari terbit adalah waktu syuruk, manakala sewaktu matahari terbenam adalah bermulanya waktu maghrib. 28 menit selepas syuruk adalah waktu dhuha.
Adanya pergerakan matahari dalam setahun dari lintang utara ke selatan dan kembali lagi ke utara menghasilkan efek perbedaan waktu terbit dan terbenamnya matahari pada wilayah sub tropis. Bahkan di wilayah kutub, perbedaan ini bisa menjadi sangat ekstrim. Namun, setiap muslim tetap terikat dengan ketentuan waktu yang telah ditetapkan berdasarkan peredaran matahari (terbit dan terbenamnya). Meski pun terjadi perbedaan panjang antara malam dan siang. Dimana pun seseorang berada di muka bumi ini, maka dia harus mengikuti jadwal ibadah shalat dan puasa sesuai dengan gejala peredaran matahari ini,meskipun setiap saat bisa berubah-ubah.
Barangkali pada musim panas, lamanya siang akan menjadi sangat panjang, karena bisa saja jam 03.00 pagi matahari sudah terbit. Dan baru terbenam jam 21.00 malam harinya. Sebaliknya, di musim dingin justru matahari terlambat sekali terbit, misalnya pada jam 08.00 dan sudah terbenam pada jam 16.00 sore harinya. Tetapi selama perbedaan waktu terbit dan terbenamnya matahari masih jelas terjadi dalam setiap harinya, jadwal shalat dan puasa tetap harus mengacu kepada peredaran matahari.
Kecuali untuk wilayah yang terlalu ekstrim, dimana matahari tidak terbit selama 6 bulan atau sebaliknya. Atau batas antara terbenam dan terbitnya matahari sangat singkat dan tidak sampai hilang mega merahnya, sehingga tidak bisa dipastikan kapankan masuk waktu Isya dna kapankah masuk waktu shubuh. Dalam kasus ini, para ulama dalam fatwa Majelis Majma' Al-Fiqh Al-Islami jalsa ketiga hari kamis 10 Rabiul Akhir 1402 H bertepatan dengan tanggal 4 Pebruari 1982 M dan Hai`ah Kibaril Ulama di Makkah Al-Mukarromah Saudi Arabia nomor 61 pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1398 H telah menetapkan fatwa antara lain :
§    Kemungkinan pertama
Jika ada wilayah yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam dan malam selama 24 jam dalam sehari. Maka dalam kondisi ini, masalah jadwal puasa shalat disesuaikan dengan jadwal wilayah yang terdekat dengannya di mana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
§    Kemungkinan kedua
Jika ada wilayah yang pada bulan tertentu tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Maka dalam kondisi ini, menyesuaikan waktu shalat `isya`nya dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilannya mega merah maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa, disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu.
§    Kemudian ketiga
Jika ada wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya. Maka dalam kondisi ini, waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam.
Namun ada juga pendapat yang tidak setuju dengan apa yang telah ditetapkan oleh dua lembaga fiqih dunia itu. Diantaranya apa yang dikemukakan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah. Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam itu sangat mencolok dimana
malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya
terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan ?
Karena yang demikian itu yakni ada wilayah yang mengalami pergantian siang malan yang ekstrim seperti ini, maka pendapat lain mengatakan:
    a. Mengikuti Waktu Hijaz
Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang
yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.
    b.Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat
Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini bertahta Sultan / Khalifah muslim.
h.    Waktu Dhuha
Kata dhuha yang mengiringi sholat sunnah ini berarti terbit atau naiknya matahari. Wajar bila sholat ini, kemudian, dilakukan pada pagi hari ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Namun, beberapa ulama fikh berbeda pendapat tentang ketentuan waktunya.
Imam Nawawi di dalam kitab Ar-Raudah mengatakan bahwa waktu sholat dhuha itu dimulai, sejak terbitnya matahari, yakni sekitar setinggi lembing (lebih kurang 18 derajat). Sementara Abdul Karim bin Muhammad ar-Rifai, seorang ahli fikih bermazhab Syafi'i berkomentar bahwa sholat itu lebih utama bila dikerjakan saat matahari lebih tinggi dari itu. Dalam ilmu falak diformulasikan dengan jarak busur sepanjang lingkaran vertikal dihitung dari ufuk sampai posisi matahari pada awal waktu dhuha, yakni 3° 30’. Adapun jumlah rakaat shalat dhuha bisa dengan 2,4,8 atau 12 rakaat. Dan dilakukan dalam satuan 2 rakaat sekali salam.

Ä    Hikmah ditetapkannya waktu shalat
 Hikmah ditetapkannya waktu shalat karena perkara yang tidak mempunyai waktu tertentu biasanya tidak diperhatikan oleh kebanyakan orang. Di samping itu, dzikir yang mendidik jiwa ini mengandung pendidikan amaliyah bagi umat islam, karena mereka melaksanakan amal-amalnya di dalam waktu-waktu tertentu, tanpa tawar menawar lagi. Oleh karena itu, barang siapa melalaikan shalat di dalam lima waktu itu, maka boleh jadi dia akan lupa kepada Robbnya dan tenggelam di dalam lautan kelalaian.
Berbeda dengannya, orang yang imannya kuat dan hatinya bersih, tidak  cukup dengan berdzikir dan bermunajat kepada Allah dalam waktu yang sedikit ini, akan tetapi dia menambahnya dengan shalat nafilah.
Ringkasnya, shalat lima waktu ini dilaksanakan di dalam waktu-waktu tertentu agar orang mukmin selalu ingat kepada Rabbnya di dalam berbagai waktu, sehinggah kelengahan tidak membawanya kepada perbuatan buruk atau mengabaikan kebaikan

C. Kesimpulan

Sebagaimana yang terdapat dalam analisa  dari beberapa tafsir, hadits dan fiqih di atas dapat disimpulkan bahwa anjuran untuk melaksanakan shalat sesuai dengan waktu-waktunya, artinya tidak boleh menunda dalam menjalankannya. Sebab waktu-waktunya telah ditentukan dan kita wajib untuk melaksanakannya.
Adapun tentang waktu-waktu shalat sudah dijelaskan dalam al-qur’an dan hadits. Dan dapat disimpulkan sebagaimana berikut :
(1). Waktu shalat Dzuhur mulai dari tergelincirnya matahari sampai ketika bayangan sebuah benda sama panjang dengan aslinya.
(2). Waktu shalat Ashar mulai dari ketika bayangan sebuah benda sama panjang dengan aslinya sampai tenggelam matahari.
(3). Waktu shalat Maghrib mulai dari tenggelam matahari sampai hilangnya warna kemerahan dari ufuk sebelah barat.
(4). Waktu shalat Isya mulai dari hilangnya warna kemerahan dari ufuk sebelah barat sampai pertengahan malam
(5). Waktu shalat Shubuh mulai dari terbit fajar sampai terbit matahari.
(6). Waktu Imsak adalah jarak antara waktu sahur dengan waktu shalat shubuh adalah seukuran membaca 50 ayat Al-Qur’an yang biasa digunakan di Indonesia 10 menit sebelum shubuh.
(7). Waktu terbitnya matahari ditandai dengan piringan atas matahari bersinggungan dengan ufuk sebelah timur.
(8). Waktu dhuha di mulai ketika matahari mulai naik kurang lebih dua hasta sejak terbitnya hingga waktu dhuhur.
Inilah aturan-aturan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya tentang waktu-waktu shalat. Barangsiapa yang melakukan shalat sebelum waktu yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya SAW, maka dia mendapatkan dosa dan shalatnya tertolak. Begitu juga orang yang mengerjakannya setelah waktunya lewat tanpa udzur syar’i.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, 1986, Tafsir Al-Maraghi, Cet 1,Semarang : Toha Putra.

Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib, 1999, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jil. 6, Cet.1, Jakarta : Gema Insani Press.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2000, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Jil III, Cet II, Semarang : Pustaka Rizki Putra.

Agama, Departemen, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jil. V1, Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia.

Hamidy,  Mu’ammal, dkk, Terjemahan Nailul Author, Jilid I, Surabaya: Bina Ilmu.

Izzuddin, Ahmad, 2006, Ilmu Falak Praktis, Semarang: Komala Grafika.

______________, 2007, fiqih Hisab Rukyah (Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam PenentuanAwal
Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha), Jakarta : Erlangga.

Khazin, Muhyiddin, 2004 Ilmu Falak Teori dan Praktik, ( Yogyakarta : Buana Pustaka, Cet. 1.

Mughniyah, Muhammad Jawad, 1991, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Basrie Press.

Muhammad , Abu Bakar, Terjemahan Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas.

Rusydi, Abnu,  Kitab Bidayatul Mujtahid, Semarang : Thoha Putra

Shaleh, Qamaruddin, 1982, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Al-Quran, Cet. 3, Diponegoro: Bandung

Shihab, M. Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, Cet 1, Jakarta : Lentera Hati.

http://www.darulkautsar.com/pemurniansyariat.imsak.htm
http://www.ilmufalak.org/index.php?option=com
http://www.eramuslim.com/ustadz/shm/45d1097d.htm
http://media.isnet.org/isnet/Djamal/hilal21.html
http://www.fisikanet.lipi.go.id

2 komentar:

  1. Assalamualaikum,
    Saya yakin banyak dari sodara2 muslim kita kurang mengetahui dasar dari perintah mengerjakan sholat 5 waktu, kemungkinan cuman mengikuti kebiasaan yang diajarkan Orang tua kita n Guru-guru kita sejak kecil. Terima kasih banyak atas uraian & penjelasaannya, sangat bermanfaat.

    BalasHapus
  2. makasi infonya kak,, sangat bermanfaat sekali

    BalasHapus