Minggu, 24 April 2011

MA’AF AKU TAK BISA


Dia seorang gadis yang baik, manis dan penuh perhatian. Kelembutan selalu mengiringi setiap langkahnya, dan senyuman selalu mengiringi setiap perkataannya. Aku bertemu dengannya saat pertama kali aku menginjakkan kaki di dunia kampus. Tanpa sengaja aku bertemu dengannya. Dengan sopan ia lewat di depanku. Dan secara kebetulan pula aku satu kelompok bersamanya pada saat orientasi kampus. Sejak itulah persabatanku dengannya terjalin. Ia selalu membantuku dalam segala hal. Kebaikan-kebaikannya pun tak bisa aku lupakan. Dan kapanpun saat aku butuh seorang teman untuk bicara, ia selalu ada. Memang ia seorang gadis yang tak banyak bicara, tapi dari sikap, perhatian dan sorot matanya, aku begitu mengaguminya.
Kata orang, ia seorang gadis yang biasa saja. Tiada istimewa pada dirinya. Penampilannya pun apa adanya. Ia tak terlihat seperti gadis-gadis kampus lain yang sangat perduli dengan gaya dan penampilannya. Tapi tak tahu kenapa, aku suka dengan gaya dan kesederhanaannya. Kata dan bahasa tubuhnya sanggup membuatku mengerti bahwa “persahabatan itu tidak hanya bagaimana kamu melihat, tapi bagaimana kamu merasa.”
Dan aku, yang selama ini bisa dibilang bahwa aku terlalu cuek dengan penampilan. Aku tak perduli dengan perkataan orang tentangku. Aku juga seorang yang pemalas, malas dalam segala hal. Namun ia begitu sabar menghadapi sikapku yang aku sendiri susah untuk menebaknya. Apalagi aku termasuk orang yang susah diatur. Melakukan segala sesuatu harus dari kehendakku sendiri, bukan aturan orang lain. Segala sesuatu yang penting nyaman bagiku. Apalagi aku diatur oleh seseorang yang menurutku ia sendiri yang harus diatur. Maka jangan harap aku akan mendengarkan perkataannya.
Dan tak tahu kenapa, aku sedikit mulai bisa mengontrol diriku. Dengan kelembutannya ia memberiku sebuah rasa yang indah. Rasa menghargai seseorang. Sebuah rasa yang selama ini aku lupakan. Keegoisan diri yang selalu aku utamakan dan tak perduli dengan sekitar. Aku mulai bisa menghargai orang lain. Orang-orang disekitarku yang selama ini hanya aku anggap terlalu ikut campur urusanku, padahal dengan kalam-kalamnya mereka perduli padaku. Dan aku juga mulai bisa menghargai waktu, yang selama ini aku buang dengan percuma.
Namun, aku mulai merasa persahabatan itu sebentar lagi akan hilang. Kebodohanku bahwa aku menyimpan sedikit rasa padanya. Rasa kagumku padanya telah berubah menjadi sebuah rasa sayang dan aku ingin memilikinya. Dari itu aku mulai mencoba sedikit untuk menjauhinya, aku tak ingin rasa ini akan semakin ada. Aku tak ingin persahabatan ini aku nodai dengan rasa yang aku sendiri tak berharap itu ada.
Ternyata bukan hanya aku yang bermaksud untuk menjauhinya. Aku rasa ia pun sedikit demi sedikit mulai menjauhiku. Saat aku lewat disampingnya ia tak menegurku lagi. Ia tak berkata. Hanya senyumnya yang bicara. Sungguh hal itu sangat menyakitkan bagiku. Menatap mataku pun ia seakan tak mampu. Aku pun bingung dengan keadaan ini. Bukannya aku juga menginginkannya. Namun kenapa saat ia yang menghindariku, aku yang merasa sangat kehilangannya. Aku dan dia pun merasa canggung untuk bertegur sapa. Itulah yang aku takutkan selama ini. Aku hanya manusia biasa, yang tak bisa menahan sebuah perasaan yang dengan sendirinya ia ada.
Aku ingin hubungan itu tak lebih dari sahabat. Aku takut akan menyakitinya. Aku takkan sanggup bila suatu saat nanti aku akan meninggalkannya. Aku ingin hubungan ini berjalan apa adanya. Meski ada sebuah rasa di hati, tapi persahabatan itu takkan mati.
Hey, lagi apa?
Lega rasanya. SMS yang sedari tadi hanya aku pandangi, kini sampai juga padanya. Sungguh hal itu membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk mengirimnya. Bagaimanapun juga aku tak ingin persahabatan itu hilang seketika hanya karena keegoisanku. Aku memang tak inginkannya menjadi seorang yang special di hatiku, namun bukan berarti aku harus menafikannya dalam kehidupanku.
Dengan tak sabar aku menantikan jawabannya. Dan akhirnya HP ku berbunyi juga, itu pertanda bahwa ia tak mengapa dengan hubungan ini. Yang ku ingin, ia tak merasa bahwa aku menjauhinya karena ia merasa telah melakukan kesalahan padaku.
Namun, ada sedikit rasa kecewa saat ku buka SMS itu,
Bisa ke tempatku bentar gak?
Ku butuh bantuan ne……..

Ternyata dari Ardi, sahabatku yang rumahnya tak jauh dari tempat kos ku. Dengan langkah gontai aku ke luar rumah. Namun tak ku pungkiri bahwa aku masih mengaharapkan balasannya. “mungkin ia sibuk. Atau gak punya pulsa.” Pikirku.
apa yang bisa ku bantu Di?”
untung kamu sudah datang. Gak tahu kenapa nih, laptop ku gak bisa jalan lagi.”
ya iyalah, secara laptop gak punya kaki.”
ya terserah kamu dah…. Yang penting lihat dulu, biasanya kamu kan bisa.”

Sampai kapankah aku menunggumu…./ membuka hatimu untuk terima cintaku
Sampai kapankan rasa di hatiku…./ menanti rasamu akan menyambut rasaku
Dan mungkin bila waktu yang bisa mengungkapkan berseminya cinta di dalam hatimu
Izinkan aku mengungkapkan perasaan cinta yang lama tersimpan di hati
Berikan aku kesempatan membuktikan tulusnya cintaku

Untungnya pekerjaan itu tak membutuhkan waktu yang lama, laptopnya Ardi sudah bisa dipakai kembali. Sampai akhirnya, suara musik yang di lantunkan band ungu itu telah berbunyi. Dan alangkah senangnya saat aku buka ternyata SMS itu darinya.
Maaf, baru balaz..
Lagi nyantai ne, gak ada kerjaan.
Emang napa?

Itulah jawaban yang sudah aku tunggu dari tadi. Aku pun membalasnya,
Gak ada apa-apa.
Kangen.

Dengan bergegas aku mengirimkannya. Aku tak tahu ini sebuah kesalahan atau memang ini yang harus aku lakukan. Meski dalam kasat mata, aku dan dia terlihat jauh. Tapi pada kenyataannya hubungan persahabatan itu tetap ada. Ia faham bahwa gurauanku itu tak kan berpengaruh besar baginya, karena sebelumnya ia pun sering bercanda untuk mencairkan suasana padaku.
Dan dengan rasa sedikit penasaran atas jawabannya, aku meraih HP ku kembali yang sempat aku taruh di atas meja. Dan akupun mulai tersenyum sendiri saat membuka SMS darinya, “gambar seorang gadis tersenyum manis” telah ia kirimkan padaku.
Namun pada keesokan harinya, aku mencarinya ke semua sudut kampus yang pernah kami kunjungi, tapi aku tak menemukan sosoknya. Aku terus berusaha untuk menghubungi lewat mobile-nya, tapi tetap saja gak ada jawaban darinya. Untungnya saat di koridor kampus, aku bertemu dengan Afni, sahabatnya. Afni berbicara panjang lebar padaku tentang sikap sahabatnya yang akhir-akhir ini telah berubah. Sikapku yang tak seperti biasa, dengan tak kusadari telah menyakiti hatinya. Qya, namanya, menyadari kalau aku telah menghindarinya. Parahnya, ia pun melakukan hal yang sama dan akhirnya kita jarang bertegur sapa lagi. Aku menyadari itu, hanya senyuman tipis yang berikan saat kami bertemu. Itulah puncaknya. Sikapku yang terasa agak dingin padanya, telah membuat ia menjauh dariku. “Mungkin inilah yang terbaik”, pikirku.
Dan satu hal yang membuatku lebih terkejut, Afni merasa bahwa Qya telah menyimpan rasa padaku. Qya tak ingin aku sampai menyadarinya. Dan “menjauhiku” menjadi langkah yang ia ambil. Benarkah yang Afni bilang?. Jika semua itu benar, “Maafkan aku Qya…… Aku pun merasa mulai ada rasa dalam hatiku padamu. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Engkau terlalu baik padaku. terserah kamu menganggapku apa, yang jelas aku tak ingin suatu hari nanti kamu lebih terluka gara-gara aku, gara-gara sikap dan egoku. Dan aku takut akan lebih menyakitimu, jika hubungan ini akan berlanjut.”
Aku sadar ini salah. Menjauhinya tak akan menyelesaikan masalah. Namun aku hanya akan sedikit lebih membatasi diri jika bertemu dengannya. Meski antara aku dan dia tak bisa seperti dulu lagi, namun aku akan mencoba untuk terus melindunginya. Dan menjadi seorang yang selalu ada saat dia butuhkan.
Maaf. Aku tak bisa membiarkanmu masuk ke dalam hidupku. Dan dengan tulus, aku akan berusaha rela jika kamu bersama yang lain. Namun, jika memang jodoh dan Tuhan berkehendak untuk menyatukan kita. Dengan izin-Nya pula, aku akan menjadikanmu seseorang yang halal bagiku.” Gumamnya dalam keheningan malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar