Persahabatan yang timbul dari masa anak-anak hingga dewasa, yang
terjalin antara Dara, Ricky, dan Nida, semakin hari semakin terasa hangat.
Kebersamaan selalu mengiringi langkah mereka.
“Ra. Jalan yuk…..” Ajak Ricky, yang dengan tiba-tiba nongol dari
belakangnya.
“Mau jalan kemana sih….????”
“Ya seperti biasa. Kemana aja, yang penting bisa bikin kita happy.”
“Emang lu ga ada kuliah lagi…???”
“Ada
sih…!!!!! Tapi entar sore. Gampang lah kalo soal kuliah..” Jawab Ricky enteng,
“Gimana nih Ra, mau ga lu??”
“Ayo. Asal pergi ma lu, isi dompet gue ga bakal keluar kan …!!!!”
“Soal itu, bereeeeeeesssss…. Ngomong-ngomong, Nida mana
nih???” Tanya Ricky kebingungan, dengan mata yang terus melirik ke seantreo
sudut kampus, mencari sosok Nida di sela-selanya.
“Ada. Biasalah, paling juga lagi merenungi nasibnya di pojok
taman belakang.”
“Sotoy lu Ra….”
“Apaan tu………?????”
“S-O-K T-A-U lu…”
“Ye…. Emang bener kok.”
Tak lama kemudian, Ricky dan Dara menemukan Nida, duduk
sendirian dengan ditemani buku dan pen birunya. Dengan iringan senyum, ia
menggoreskan pena, mencoba menguraikan kata-kata yang mewakilkan
perasaan-perasaannya.
Itulah satu hal yang selalu dilakukannya. Buku biru itu tak
pernah lepas dari jari-jari lentiknya. Menemaninya setiap saat. Siapapun tak
boleh membukannya, termasuk Ricky dan Dara. Meskipun keduannya adalah
sahabat-sahabat terdekatnya.
“Da… !!!!!” Hentak Ricky dari sampingnya.
“Eh.., gila lu berdua.
Kaget tau…….”
“Duh.. Jangan sewot donk, sory deh…habis lu serius banget
sih ma tu buku, ampe ga tau kalo kita dateng.”
“Biasa Ky …. Yang lagi obsesi jadi penulis
terkenal.” Sela Dara.
“Penulis apaan nih?????”. Tanya Ricky nyindir.
“Penulis di majalah anak-anak, BOBO….”
“Udah,,,, puas kalian. Sebel tau, denger ocehan kalian yang
ga penting.” Ujar Nida sewot.
“Iya deh…. Maafin kita ya sayank…. Oya, jadi lupa. Mau ikut
jalan-jalan ga???”
“Kemana Ra???”
“Kemana aja, seperti biasa.”
“Boleh, yuk…”
* * *
“Da… ” Dengan nafas yang tersenggal-senggal, Ricky
menghampiri Nida yang duduk sendirian di teras rumahnya.
“Aduh, Ricky.. sahabatku yang paling cuakep. Nyantai aja
kale.. gue juga ga bakalan kabur kok. Lagian lu kenapa sih, kok buru-buru
banget kayak gini???”
“Gue……… gue……” Ucapnya tersendat-sendat.
“Aduh. Bentar ya, gue ambilin minum dulu.”
Nida pun membawakan segelas air putih untuknya. “Kalo lu
udah siap ngomong, dan udah tenang, baru
boleh ngomong.”
Setelah narik nafas panjang, Ricky mulai bicara. “Da.
Sebelumnya, gue minta maaf banget ma lu. Gue udah nyera Da. Gue uda ga bisa
lagi mendem perasaan ini. Semakin gue ingin menepisnya, perasaan ini makin
tumbuh dan berkembang.”
“Ky. Akhirnya perasaan yang selama ini gue pendem, terbalas oleh pengakuan lu sendiri.
Uda lama banget gue nunggu momen ini. Rasanya seperti mimpi. Terima kasih
Tuhan……… ” Gumam Nida.
“Maksud lu apa sih…..
gue ga ngerti.” Ucap Nida dengan wajah ceria.
“Sekali lagi, maaf kalo pengakuan gue entar dapat menodai
persahabatan kita. Tapi gue harus katakan ini. Dan gue percaya, hanya lu yang
bisa bantu gue…”
“gue….”
“Iya, Da. Hanya lu yang bisa bantu gue. Lu adalah sahabat
yang paling ngerti gue. Kasih gue masukan, agar gue ga terombang-ambing
perasaan kayak gini. Da, gue lagi jatuh cinta. Beberapa kali gue uda mencoba
untuk menepisnya, tapi ini malah bikin parah. Keadaan yang telah buat gue jadi
seperti ini. Setiap hari dia selalu di samping gue. Dia, orangnya baik, cantik,
perhatian dan apa adanya. Pokoknya Da, sulit banget gue jelasin ini semua.”
“Ky. Gue boleh tau ga, siapa cewek tu????”. Dengan jantung
yang berdebar-debar tak karuan dan sorot mata yang menerawang, Nida menanti
jawaban Ricky. Berharharap namanyalah yang akan keluar dari bibirnya.
“Lu tau kok siapa dia. Dia deket sekali ama kita.” Ricky pun
terdiam sejenak, “Dia………… adalah……. Dara.”
Hati pun terasa hancur sudah, hancur berkeping-keping.
Seakan bibir terasa keluh untuk berucap, menahan air mata yang bersembunyi di
kelopak matanya. Menyembunyikan kekecewaan yang sangat dalam. Dan itu tterlihat
jelas dari paras wajahnya yang berubah
menjadi pucat pasih. Terasa sulit sekali menerima kenyataan yang telah nyata di
depan mata.
“Da. Lu ga papa kan ……”
Dengan mengibaskan tangannya di depan wajah Nida, suara Ricky pun membuyarkan lamunannya.
“Ga papa.”
“Lu baik-baik aja kan .
Tapi, Ya Ampun, lu sampe nangis Da.”
“Gue baik-baik aja kok. Ya iyalah gue sampe nangis. Kurang
peka banget sih lu. Ini berarti, gue juga ikut seneng kalo lihat lu yang lagi
seneng. Lihat aja muka lu, yang saking senengnya, lu itu seperti anak kecil
yang baru nerima mainan baru tau….”
“Bisa aja sih lu Da. Makasih ya, lu udah jadi orang pertama
yang dengerin isi hati gue.”
“Orang pertama. Jadi, Dara belom tau???”
“Ya belom lah. Makanya gue minta bantuan lu. Tapi, kenapa ya
Da, akhir-akhir ini Dara seperti jaga jarak ama kita. Sulit banget untuk
ditemui. Gue ngerasa, kalo dia tu menghindar dari kita.”
“Ga mungkin lah Dara kayak gitu. Kita kan udah kenal Dara sejak kecil. Mungkin aja
kan, dia lagi ada keperluan yang sangat penting. Dan kita juga tau kalo Dara
itu sangat dan sangat menomorsatukan keluarganya, lebih dari apapun.”
“Bener juga sih. Makasih ya…….. lu emang sahabat gue yang
paling TOP BGT.”
“Dari dulu kaleeeee…..”. Tawa pu menyelimuti kemesraan pada
persahabatan ini. Meski terasa begitu berat, namun Nida mencoba untuk bersikap
biasa saja.
* * *
Dari jauh, Nida memperhatikan Ricky. Dengan kebingungan
sahabatnya itu mendekatinya.
“Lu kenapa lagi sih Ky.
Kemaren, lu dateng ke gue dengan wajah yang berbinar-binar, tapi sekarang lu
dateng ke gue dengan wajah kusut banget.”
“Da, gue lagi bingung banget. Gue yakin kalo Dara emang
sengaja menghindari kita. Gue udah berkali-kali telfon ke hp-nya, tapi gak
pernah diangkat. Gue kerumahnya, tapi bokap nyokapnya bilang kalo dia gak ada
di rumah.”
“Untung kalian ada disini. Nih, ada titipan surat buat kalian.” Sela Toni, teman sekelas
Nida, yang tiba-tiba datang dan memberikan sepucuk surat yang bersampul putih.
“Dari siapa Ton????” Tanya Ricky.
“Dari Dara.”
Secepat mungkin Ricky menarik surat itu. Dengan wajah yang penuh dengan
ketidaksabaran , dia membuka dan membacanya.
Untuk Ricky dan Nida, sahabat-sahabatku
tercinta
Terima kasih,
kalian telah menjadi sahabat-sahabat gue yang selalu ada buat gue.
Terima kasih,
karena kalian telah membuat hari-hari gue indah.
Maaf, atas
semua kesalahan gue.
Maaf, jika
sikap gue akhir-akhir ini membuat kalian susah.
Kalian tahu kan , kelemahan gue
adalah orang tua gue. Jika mereka seneng, gue ikut seneng, dan sebaliknya. Oleh
karena itu, gue ngabulin permintaan mereka supaya gue mau dijodohin sama anak
dari sahabat bokap gue. Dan gue bakal pindak kuliah. Kita masih sahabatan kok.
Selamanya akan masih terikat oleh yang namanya persahabatan. Tapi maaf, jika
gue ga bisa memberikan kesetiaan gue sepenuhnya untuk ikatan ini.
Dan lu Da.
Terus berjuang ya…. Jangan pantang menyerah loo.. jangan hiraukan ocehan gue ma
Ricky yang ga penting. Gue tunggu karya lu yaaa….
I L U
Dara
Dengan hati terenyuh, Nida harus
membiarkan ini semua terjadi. Melihat dan menatap langsung orang yang paling
dicintainya meneteskan air mata. Dengan segenap kemampuannya, Nida bangkit dari
tempat duduknya, mendekati Ricky dan mencoba meringankan kegundahan hatinya.
“Ky. Gue tahu gimana perasaan lu. Gue
juga tahu gimana rasanya melihat ornag yang kita saying, tternyata lebih
memilih orang lain. Tapi ini bukanlah akhir dari segalanya. Ricky yang gue
kenal, orangnya kuat. Ga lemah kaya’ gini. Ky, perlu lu tau, cinta ga bisa
dipaksa, dan cinta ga harus memiliki. Kalo kita udah melihat orang yang kita
saying bahagia mesti dengan orang lain, itu sudah lebih dari cukup untuk
membuktikan rasa sayang kita pada dia.”
Dengan air mata yang sedari tadi
menemaninya, Nida mengurai kata. Namun ia sudah tak sanggup lagi untuk menahan
gemuruh hatinya. Untungnya, Ricky hanya pengen sendiri, dan menyuruh Nida untuk
meninggalkannya.
* * *
“Ky. Nida mana? Tumben dia ga masuk kuliah beberapa hari
ini.” Seloroh Toni, ketika dengan tidak sengaja bertemu Ricky di gerbang
kampus.
“Nida ga masuk kuliah?? !!!” Jawab Ricky
kaget.
“gimana sih lu… lu kan sahabat deketnya.” Tanggap Toni sewot
sambil berlalu pergi.
Niat pulang pun diurungkan Ricky, dan
ia memutuskan untuk kembali ke kampus. Terasa begitu sulit menerima kenyataan
kalau sosok Nida, meninggalkan kuliah beberapa hari tanpa keterangan yang
jelas. Ia pun terus melangkahkan kakinya menuju ke taman belakang kampus. Suatu
hal yang tak pernah luput Nida lakkukan. Tiap gadis cantik itu butuh
ketenangan, ia duduk disana ditemani buku birunya. Dan dengan tak sengaja, Ricky
menemukan buku itu tergeletak di bawah kursi panjang.
Ia pun membuka buku itu. Matanya
melotot sejenak. Tak pernah ia sangkah dan duga sebelumnya, Nida telah menulis
beberapa tulisan tentangnya.
Buat
nama yang tak pernah hilang
Ricky
Gue
sayank banget ma loe…..
Tuhan……..
Aku
hanyalah manusia lemah tak berdaya. Tersudut oleh ketidakberdayaan yang terus
setia memenjarakanku. Dan aku tak kan
bisa berbuat apa-apa, kecuali atas izin-Mu.
Tuhan………
Terima
kasih, Engkau telah semaikan benih cinta yang begitu indah ku rasa. Tumbuh di
gersangnya kerinduanku atas dasar cinta. Aku begitu mengagumi sosoknya, yang
dapat memberikan kesejukan saat ku mulai rapuh, yang dapat meneteskan embun
kedamaian saat ku mulai putus asa.
Buat
nama yang tak pernah hilang
Aku
turut bahagia jika melihatmu bahagia. Aku percaya, cinta gak bisa dipaksa. Ia
akan tumbuh dengan sendirinya. Semoga kau bahagia dengan cintamu. Cinta yang
begitu kau harapkan bersemi dan berkembang indah di kalbumu.
Jangan
pernah tanyakan jika namamu akan selalu tergores di hatiku.
Tanpa pikir panjang. Ricky melajukan
mobilnya ke rumah Nida. Sayang, ia tak menemukannya disana. Ia pun mulai
menggurutu. Menyesali nasib yang membuatnya dilema akan ketidakberdayaannya
karena cinta. Mengapa ia begitu gampang kehilangan sahabat dan cinta. Penyesalan
pun mulai mengiringi langkahnya. Dan alangkah senangnya, saat setetes kesejukan
mulai ia dapatkan. Ia melihat pembokatnya Nida keluar rumah. Dan ia pun
menanyakan keberadaan Nida sekarang. Namun, tubuhnya terasa lemas saat
mendengar pengakuan wanita paruh baya itu.
“Anu Den…… Non Nida lagi sakit. Sekarang
lagi di rawat di Rumah Sakit.”
Dengan hati yang bagai di sayat
sembilu, ia menuju Rumah Sakit sesuai dengan alamat yang wanita itu berikan.
Hati Ricky terasa hancur, saat
melihat Nida terbaring lemah tak berdaya. Dengan senyum manisnya, ia menyambut
kedatangan Ricky. Meski terasa begitu memaksa, ia mulai bicara, “Gimana keadaan
lu? Lu ga nekat bunuh diri kan ….
Karena patah hati.” Ucapnya parau.
“Gue baik-baik aja kok. Lu kenapa Da?
Ga perna cerita soal ini. Maaf Da, gue emang bodoh. Mementingkan kepentingan
sendiri, tanpa tau dan ga pernah tau kalo lu lagi sakit.” Balas Ricky lirih.
Dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam ia menunjukkan penyesalannya.
“Gue baik-baik aja Ky.” Jawab Nida
enteng.
“Ini apa Da? Dan, gue udah tau semua
tentang perasaan lu dari buku ini.” Tanpa pikir panjang dan mata berkaca-kaca
yang diselimuti kecemasan, Ricky menunjukkan buku Nida.
“Lu dapet itu dari mana??” Tanya Nida
kebingungan.
“Itu ga penting. Kenapa lu ga pernah
cerita itu ma gue?”
“Ky. Satu hal yang mesti lu tau,
cinta itu ga bisa dipaksa. Dan gue juga tau, begitu dalam perasaan lu ma Dara.
Lu sayang banget ma dia kan… Gue ga ingin ngerusak rasa indah yang telah tumbuh
di hati lu itu Ky. Dan gue percaya akan takdir dan cinta. Kalo ternyata
pertemuan kita kali ini yang terakhir, dan akhirnya cintaku telah hilang karena
waktu, itulah takdir. Dan jika gue masih diberi kesempatan untuk sembuh,
walaupun cinta yang kedatangannya tak pernah terbersit dalam benak gue
sebelumnya ini, Cuma berani sembunyi di relung hati dan tak kan pernah
terbalas, gue akan terima semuanya dengan ikhlas.” Aku Nida.
Dengan tenang ia meluangkan segenap
perasaannya. Ricky hanya bisa terdiam. Menyaksikan keteguhan hati sang gadis
yang tak pernah ia sangkah sebelumnya. Begitu besar jiwanya menerima kenyataan
tanpa ada pengakuan atau penyesalan sedikitpun.
“Da. Maaf, selama ini gue cuma bisa
bikin lu kecewa. Gue akan berusaha bikin lu nyaman di dekat gue. Bukan hanya
sebagai teman ataupun pacar, tapi sebagai apa saja yang lu butuhkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar