Senin, 05 Agustus 2013

DALAM DIAM ADA CINTA

Persahabatan yang timbul dari masa anak-anak hingga dewasa, yang terjalin antara Dara, Ricky, dan Nida, semakin hari semakin terasa hangat. Kebersamaan selalu mengiringi langkah mereka.

“Ra. Jalan yuk…..” Ajak Ricky, yang dengan tiba-tiba nongol dari belakangnya.
“Mau jalan kemana  sih….????”
“Ya seperti biasa. Kemana aja, yang penting bisa bikin kita happy.”
“Emang lu ga ada kuliah lagi…???”
Ada sih…!!!!! Tapi entar sore. Gampang lah kalo soal kuliah..” Jawab Ricky enteng, “Gimana nih Ra, mau ga lu??”
“Ayo. Asal pergi ma lu, isi dompet gue ga bakal keluar kan…!!!!”
“Soal itu, bereeeeeeesssss…. Ngomong-ngomong, Nida mana nih???” Tanya Ricky kebingungan, dengan mata yang terus melirik ke seantreo sudut kampus, mencari sosok Nida di sela-selanya.
“Ada. Biasalah, paling juga lagi merenungi nasibnya di pojok taman belakang.”
“Sotoy lu Ra….”
“Apaan tu………?????”
“S-O-K T-A-U  lu…”
“Ye…. Emang bener kok.”
Tak lama kemudian, Ricky dan Dara menemukan Nida, duduk sendirian dengan ditemani buku dan pen birunya. Dengan iringan senyum, ia menggoreskan pena, mencoba menguraikan kata-kata yang mewakilkan perasaan-perasaannya.
Itulah satu hal yang selalu dilakukannya. Buku biru itu tak pernah lepas dari jari-jari lentiknya. Menemaninya setiap saat. Siapapun tak boleh membukannya, termasuk Ricky dan Dara. Meskipun keduannya adalah sahabat-sahabat terdekatnya.
“Da… !!!!!” Hentak Ricky dari sampingnya.
“Eh.., gila lu berdua.  Kaget tau…….”
“Duh.. Jangan sewot donk, sory deh…habis lu serius banget sih ma tu buku, ampe ga tau kalo kita dateng.”
Biasa Ky…. Yang lagi obsesi jadi penulis terkenal.” Sela Dara.
“Penulis apaan nih?????”. Tanya Ricky nyindir.
“Penulis di majalah anak-anak, BOBO….”
“Udah,,,, puas kalian. Sebel tau, denger ocehan kalian yang ga penting.” Ujar Nida sewot.
“Iya deh…. Maafin kita ya sayank…. Oya, jadi lupa. Mau ikut jalan-jalan ga???”
“Kemana Ra???”
“Kemana aja, seperti biasa.”
“Boleh, yuk…”

* * *
“Da… ” Dengan nafas yang tersenggal-senggal, Ricky menghampiri Nida yang duduk sendirian di teras rumahnya.
“Aduh, Ricky.. sahabatku yang paling cuakep. Nyantai aja kale.. gue juga ga bakalan kabur kok. Lagian lu kenapa sih, kok buru-buru banget kayak gini???”
“Gue……… gue……” Ucapnya tersendat-sendat.
“Aduh. Bentar ya, gue ambilin minum dulu.”
Nida pun membawakan segelas air putih untuknya. “Kalo lu udah siap ngomong, dan udah tenang,  baru boleh ngomong.”
Setelah narik nafas panjang, Ricky mulai bicara. “Da. Sebelumnya, gue minta maaf banget ma lu. Gue udah nyera Da. Gue uda ga bisa lagi mendem perasaan ini. Semakin gue ingin menepisnya, perasaan ini makin tumbuh dan berkembang.”
“Ky. Akhirnya perasaan yang selama ini gue  pendem, terbalas oleh pengakuan lu sendiri. Uda lama banget gue nunggu momen ini. Rasanya seperti mimpi. Terima kasih Tuhan……… ” Gumam Nida.
“Maksud lu apa  sih….. gue ga ngerti.” Ucap Nida dengan wajah ceria.
“Sekali lagi, maaf kalo pengakuan gue entar dapat menodai persahabatan kita. Tapi gue harus katakan ini. Dan gue percaya, hanya lu yang bisa bantu gue…”
“gue….”
“Iya, Da. Hanya lu yang bisa bantu gue. Lu adalah sahabat yang paling ngerti gue. Kasih gue masukan, agar gue ga terombang-ambing perasaan kayak gini.  Da, gue lagi  jatuh cinta. Beberapa kali gue uda mencoba untuk menepisnya, tapi ini malah bikin parah. Keadaan yang telah buat gue jadi seperti ini. Setiap hari dia selalu di samping gue. Dia, orangnya baik, cantik, perhatian dan apa adanya. Pokoknya Da, sulit banget gue jelasin ini semua.”
“Ky. Gue boleh tau ga, siapa cewek tu????”. Dengan jantung yang berdebar-debar tak karuan dan sorot mata yang menerawang, Nida menanti jawaban Ricky. Berharharap namanyalah yang akan keluar dari bibirnya.
“Lu tau kok siapa dia. Dia deket sekali ama kita.” Ricky pun terdiam sejenak, “Dia………… adalah……. Dara.”
Hati pun terasa hancur sudah, hancur berkeping-keping. Seakan bibir terasa keluh untuk berucap, menahan air mata yang bersembunyi di kelopak matanya. Menyembunyikan kekecewaan yang sangat dalam. Dan itu tterlihat jelas dari paras  wajahnya yang berubah menjadi pucat pasih. Terasa sulit sekali menerima kenyataan yang telah nyata di depan mata.
“Da. Lu ga papa kan……” Dengan mengibaskan tangannya di depan wajah Nida,  suara Ricky pun membuyarkan lamunannya.
“Ga papa.”
“Lu baik-baik aja kan. Tapi, Ya Ampun, lu sampe nangis Da.”
“Gue baik-baik aja kok. Ya iyalah gue sampe nangis. Kurang peka banget sih lu. Ini berarti, gue juga ikut seneng kalo lihat lu yang lagi seneng. Lihat aja muka lu, yang saking senengnya, lu itu seperti anak kecil yang baru nerima mainan baru tau….”
“Bisa aja sih lu Da. Makasih ya, lu udah jadi orang pertama yang dengerin isi hati gue.”
“Orang pertama. Jadi, Dara belom tau???”
“Ya belom lah. Makanya gue minta bantuan lu. Tapi, kenapa ya Da, akhir-akhir ini Dara seperti jaga jarak ama kita. Sulit banget untuk ditemui. Gue ngerasa, kalo dia tu menghindar dari kita.”
“Ga mungkin lah Dara kayak gitu. Kita kan udah kenal Dara sejak kecil. Mungkin aja kan, dia lagi ada keperluan yang sangat penting. Dan kita juga tau kalo Dara itu sangat dan sangat menomorsatukan keluarganya, lebih dari apapun.”
“Bener juga sih. Makasih ya…….. lu emang sahabat gue yang paling TOP BGT.”
“Dari dulu kaleeeee…..”. Tawa pu menyelimuti kemesraan pada persahabatan ini. Meski terasa begitu berat, namun Nida mencoba untuk bersikap biasa saja.

* * *
Dari jauh, Nida memperhatikan Ricky. Dengan kebingungan sahabatnya itu mendekatinya.
“Lu kenapa lagi sih Ky. Kemaren, lu dateng ke gue dengan wajah yang berbinar-binar, tapi sekarang lu dateng ke gue dengan wajah kusut banget.”
“Da, gue lagi bingung banget. Gue yakin kalo Dara emang sengaja menghindari kita. Gue udah berkali-kali telfon ke hp-nya, tapi gak pernah diangkat. Gue kerumahnya, tapi bokap nyokapnya bilang kalo dia gak ada di rumah.”
“Untung kalian ada disini. Nih, ada titipan surat buat kalian.” Sela Toni, teman sekelas Nida, yang tiba-tiba datang dan memberikan sepucuk surat yang bersampul putih.
“Dari siapa Ton????” Tanya Ricky.
“Dari Dara.”
Secepat mungkin Ricky menarik surat itu. Dengan wajah yang penuh dengan ketidaksabaran , dia membuka dan membacanya.

 Untuk Ricky dan Nida, sahabat-sahabatku tercinta
Terima kasih, kalian telah menjadi sahabat-sahabat gue yang selalu ada buat gue.
Terima kasih, karena kalian telah membuat hari-hari gue indah.
Maaf, atas semua kesalahan gue.
Maaf, jika sikap gue akhir-akhir ini membuat kalian susah.
Kalian tahu kan, kelemahan gue adalah orang tua gue. Jika mereka seneng, gue ikut seneng, dan sebaliknya. Oleh karena itu, gue ngabulin permintaan mereka supaya gue mau dijodohin sama anak dari sahabat bokap gue. Dan gue bakal pindak kuliah. Kita masih sahabatan kok. Selamanya akan masih terikat oleh yang namanya persahabatan. Tapi maaf, jika gue ga bisa memberikan kesetiaan gue sepenuhnya untuk ikatan ini.
Ky. Gue tahu kok, kalo lu lagi jatuh cinta,  terus berjuang demi cinta lu ya…
Dan lu Da. Terus berjuang ya…. Jangan pantang menyerah loo.. jangan hiraukan ocehan gue ma Ricky yang ga penting. Gue tunggu karya lu yaaa….
I L U
Dara

Dengan hati terenyuh, Nida harus membiarkan ini semua terjadi. Melihat dan menatap langsung orang yang paling dicintainya meneteskan air mata. Dengan segenap kemampuannya, Nida bangkit dari tempat duduknya, mendekati Ricky dan mencoba meringankan kegundahan hatinya.
“Ky. Gue tahu gimana perasaan lu. Gue juga tahu gimana rasanya melihat ornag yang kita saying, tternyata lebih memilih orang lain. Tapi ini bukanlah akhir dari segalanya. Ricky yang gue kenal, orangnya kuat. Ga lemah kaya’ gini. Ky, perlu lu tau, cinta ga bisa dipaksa, dan cinta ga harus memiliki. Kalo kita udah melihat orang yang kita saying bahagia mesti dengan orang lain, itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan rasa sayang kita pada dia.”
Dengan air mata yang sedari tadi menemaninya, Nida mengurai kata. Namun ia sudah tak sanggup lagi untuk menahan gemuruh hatinya. Untungnya, Ricky hanya pengen sendiri, dan menyuruh Nida untuk meninggalkannya.

* * *
“Ky. Nida mana?  Tumben dia ga masuk kuliah beberapa hari ini.” Seloroh Toni, ketika dengan tidak sengaja bertemu Ricky di gerbang kampus.
“Nida ga masuk kuliah?? !!!” Jawab Ricky kaget.
“gimana sih lu… lu kan sahabat deketnya.” Tanggap Toni sewot sambil berlalu pergi.
Niat pulang pun diurungkan Ricky, dan ia memutuskan untuk kembali ke kampus. Terasa begitu sulit menerima kenyataan kalau sosok Nida, meninggalkan kuliah beberapa hari tanpa keterangan yang jelas. Ia pun terus melangkahkan kakinya menuju ke taman belakang kampus. Suatu hal yang tak pernah luput Nida lakkukan. Tiap gadis cantik itu butuh ketenangan, ia duduk disana ditemani buku birunya. Dan dengan tak sengaja, Ricky menemukan buku itu tergeletak di bawah kursi panjang.
Ia pun membuka buku itu. Matanya melotot sejenak. Tak pernah ia sangkah dan duga sebelumnya, Nida telah menulis beberapa tulisan tentangnya.

Buat nama yang tak pernah hilang
Ricky
Gue sayank banget ma loe…..

Tuhan……..
Aku hanyalah manusia lemah tak berdaya. Tersudut oleh ketidakberdayaan yang terus setia memenjarakanku. Dan aku tak kan bisa berbuat apa-apa, kecuali atas izin-Mu.
Tuhan………
Terima kasih, Engkau telah semaikan benih cinta yang begitu indah ku rasa. Tumbuh di gersangnya kerinduanku atas dasar cinta. Aku begitu mengagumi sosoknya, yang dapat memberikan kesejukan saat ku mulai rapuh, yang dapat meneteskan embun kedamaian saat ku mulai putus asa.

Buat nama yang tak pernah hilang
Ky. Dalam diam aku mencintaimu. Dan sampai kapanpun perasaan ini tak kan muncul atau terdengar olehmu. Aku cukup tahu siapa aku. Aku hanyalah ilalang yang tumbuh di padang gersang. Mengharapkan air yang tak kan pernah datang.
Aku turut bahagia jika melihatmu bahagia. Aku percaya, cinta gak bisa dipaksa. Ia akan tumbuh dengan sendirinya. Semoga kau bahagia dengan cintamu. Cinta yang begitu kau harapkan bersemi dan berkembang indah di kalbumu.
Jangan pernah tanyakan jika namamu akan selalu tergores di hatiku.

Tanpa pikir panjang. Ricky melajukan mobilnya ke rumah Nida. Sayang, ia tak menemukannya disana. Ia pun mulai menggurutu. Menyesali nasib yang membuatnya dilema akan ketidakberdayaannya karena cinta. Mengapa ia begitu gampang kehilangan sahabat dan cinta. Penyesalan pun mulai mengiringi langkahnya. Dan alangkah senangnya, saat setetes kesejukan mulai ia dapatkan. Ia melihat pembokatnya Nida keluar rumah. Dan ia pun menanyakan keberadaan Nida sekarang. Namun, tubuhnya terasa lemas saat mendengar pengakuan wanita paruh baya itu.
“Anu Den…… Non Nida lagi sakit. Sekarang lagi di rawat di Rumah Sakit.”
Dengan hati yang bagai di sayat sembilu, ia menuju Rumah Sakit sesuai dengan alamat yang wanita itu berikan.
Hati Ricky terasa hancur, saat melihat Nida terbaring lemah tak berdaya. Dengan senyum manisnya, ia menyambut kedatangan Ricky. Meski terasa begitu memaksa, ia mulai bicara, “Gimana keadaan lu? Lu ga nekat bunuh diri kan…. Karena patah hati.” Ucapnya parau.
“Gue baik-baik aja kok. Lu kenapa Da? Ga perna cerita soal ini. Maaf Da, gue emang bodoh. Mementingkan kepentingan sendiri, tanpa tau dan ga pernah tau kalo lu lagi sakit.” Balas Ricky lirih. Dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam ia menunjukkan penyesalannya.
“Gue baik-baik aja Ky.” Jawab Nida enteng.
“Ini apa Da? Dan, gue udah tau semua tentang perasaan lu dari buku ini.” Tanpa pikir panjang dan mata berkaca-kaca yang diselimuti kecemasan, Ricky menunjukkan buku Nida.
“Lu dapet itu dari mana??” Tanya Nida kebingungan.
“Itu ga penting. Kenapa lu ga pernah cerita itu ma gue?”
“Ky. Satu hal yang mesti lu tau, cinta itu ga bisa dipaksa. Dan gue juga tau, begitu dalam perasaan lu ma Dara. Lu sayang banget ma dia kan… Gue ga ingin ngerusak rasa indah yang telah tumbuh di hati lu itu Ky. Dan gue percaya akan takdir dan cinta. Kalo ternyata pertemuan kita kali ini yang terakhir, dan akhirnya cintaku telah hilang karena waktu, itulah takdir. Dan jika gue masih diberi kesempatan untuk sembuh, walaupun cinta yang kedatangannya tak pernah terbersit dalam benak gue sebelumnya ini, Cuma berani sembunyi di relung hati dan tak kan pernah terbalas, gue akan terima semuanya dengan ikhlas.” Aku Nida.
Dengan tenang ia meluangkan segenap perasaannya. Ricky hanya bisa terdiam. Menyaksikan keteguhan hati sang gadis yang tak pernah ia sangkah sebelumnya. Begitu besar jiwanya menerima kenyataan tanpa ada pengakuan atau penyesalan sedikitpun.
“Da. Maaf, selama ini gue cuma bisa bikin lu kecewa. Gue akan berusaha bikin lu nyaman di dekat gue. Bukan hanya sebagai teman ataupun pacar, tapi sebagai apa saja yang lu butuhkan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar