Minggu, 19 Mei 2013

PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN NILAI-NILAI ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

Kasus korupsi di tanah air benar-benar mewabah. Selain telah merasuki infrastruktur kenegaraan baik di tingkat pusat sampai daerah, korupsi pun telah menjangkiti institusi-institusi sosial dan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hubungan tinggi-rendahnya tingkat korupsi di sebuah negara dengan tingkat keberagamaan (religiusitas) negara terkadang sulit ditentukan.
Negara yang dikenal sangat religius seperti Indonesia, dalam beberapa survei justru meraih rekor yang sangat tinggi dalam urusan korupsi. Sebaliknya, sejumlah negara sekuler yang abai pada agama, justru berhasil menekan tingkat korupsi hingga pada tingkatan yang paling minim. Padahal, jika merujuk doktrin-doktrin normatif agama yang amat ideal (dalam hal ini Islam), Indonesia -sebagai negara dengan populasi muslim paling besar di dunia - tidak sepantasnya menduduki peringkat negara terkorup. Permasalahannya, mengapa hal itu bisa terjadi?

BAB II
RUMUSAN MASALAH

Permasalahan mengenai Pemberantasan Korupsi Dengan Nilai-nilai Islam ini selanjutnya disajikan dengan sistematika pembahasan sebagai berikut :
a)      Arti korupsi dalam perspektif islam
b)      Penyebab timbulnya praktek korupsi
c)      Efek-efek dari praktek korupsi
d)     Peran agamawan terhadap praktek korupsi
e)      Pemberantasan korupsi dengan pendekatan islam

 

BAB III
PEMBAHASAN

  1. Arti Korupsi dalam Perspektif Islam
Kalau ditelusuri, kata korupsi yang berasal dari kata corruptio (Latin) sebenarnya sudah disepakati sejak zaman para filsuf Yunani kuno. Aristoteles misalnya, memakai kata itu dalam judul bukunya De Generation et Corruptione. Dalam pemahaman Aristoteles, kata korupsi – yang ditempatkan dalam konteks filsafat alamnya- lebih berarti perubahan, meski punya warna ”penurunan”. Dalam arti ini secara semantis kata korupsi masih jauh dari kata kekuasaan, apalagi uang.[1]
Namun dalam pemahaman umum, korupsi diartikan sebagai penyalagunaan jabatan atau kekuasaan publik untuk keuntungan privat. Makna ini, jika dibandingkan dengan makna awal korupsi di masa Yunani kuno tadi seperti telah dicermati, mengalami reduksi atau penyempitan makna yang cukup besar. Karena ini lebih berkaitan dengan perkembangan makna, reduksi ini tidak bisa diartikan sebagai korupsi, apalagi dalam arti yuridis yang banyak dipahami. Hanya saja tidak setiap reduksi makna bersifat netral secara moral. Jika reduksi itu memang di sengaja untuk kepentingan pribadi, reduksi menjadi korupsi. Dalam hal ini, reduksi bisa tampak sebagai distorsi. Ada kesengajaan. Ada perkara nilai di dalamnya. Dan ada pula keuntungan yang mau di gapai. Biasanya distorsi makna di buat untuk menyembunyikan sebuah tindakan koruptif.[2]
Korupsi berkaitan dengan penyalagunaan kekuasaan yang memberikan muatan moral pada korupsi. Di banding kata corruptio dalam pemahaman Aristoteles, muatan moral kata korupsi dewasa ini sangatlah kental. Pendeknya, korupsi bukan lagi bermakna netral, melainkan sudah menjadi perkara moral. Muatan moral itu menjadi jelas ketika unsur kesengajaan dalam penyalagunaan kekuasaan itu ditonjolkan. Karena itu pula, unsur agency lalu masuk dalam perhitunngan. Dalam pemahaman baru, hanya manusia yang notabene punya kekuasaan dan kebebasan, yang bisa melakukan korupsi.
Adapun dalam kontek ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai kerusakan terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan dalam perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang amat dikutuk Allah SWT[3].
Korupsi itu merusak, dan alasannya sederhana saja, yakni, karena keputusan-keputusan penting diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya bagi publik[4].
Muhammad Ali Al-Shabuni, dalam kitabnya, Rawai’u al-Bayan (jilid I hal. 546) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-fasad, yaitu segala perbuatan yang menyebabkan kehancurkan kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau merampas harta orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat tersebut, korupsi sama buruk dan jahatnya dengan terorisme.

  1. Penyebab Timbulnya Praktek Korupsi
Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan tindakan korupsi.[5]
Praktek korupsi terjadi karena individu tidak mempunyai nilai-nilai moral yang dapat mencegah korupsi yang akan dilakukannya. Hal situasional seperti adanya peluang korupsi tidak akan mendukung terjadinya korupsi apabila individu memiliki nilai-nilai moral yang terintegrasi menjadi kepribadiaan yang kokoh.
Metode untuk mengintegrasikan moral pada tiap individu dapat dilakukan dengan tiga pendekatan[6], yaitu :
Pertama, Pendekatan rasionalistik, yakni menanamkan moral dengan konsep-konsep yang bersifat rasional, misalnya dengan menanamkan pola fikir bahwa korupsi merupakan perbuatan yang merusak dan menghancurkan diri, lingkungan dan negara. Dengan pendekatan ini akan tertanam pada individu bahwa korupsi merupakan perbuatan yang harus dihindarkan dalam dirinya.
Kedua, pendekatan spiritualistik, yakni menanamkan moral dengan konsep-konsep yang bersifat spiritual yaitu dengan menanamkan rasa takut kepada tuhan dan azab-Nya. Dengan pendekatan ini akan diperoleh individu yang takut kepada Tuhan dan azab-Nya, sehingga dirinya dapat menghindari untuk melakukan praktek korupsi.
Ketiga, Pendekatan kombinasi antara rasionalistik dan spiritualistik, yaitu dengan menggabungkan pendekatan pertama dan kedua secara bersamaan, yakni di samping menggunakan cara-cara yang rasionalistik, juga menggunakan metode-metode spiritualistik.
Untuk pendekatan pertama yakni pendekatan rasionalistik tidaklah cocok untuk diterapkan sebagian individu di Indonesia. Argumen ini adanya bukti dengan maraknya praktek korupsi yang dilakukan oleh kalangan akademisi dan cendekiawan yang banyak di antara mereka berpendidikan pasca sarjana. Padahal, kalangan-kalangan tersebut merupakan orang-orang yang mempunyai pola fikir yang rasional.
Adapun maraknya praktik korupsi pada kalangan tersebut ada dua kemungkinan, yakni:
a)Gagalnya sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional belum mampu membentuk individu-individu yang rasional yang mampu mencega praktek korupsi dalam dirinya.
b)      Karakter masyarakat Indonesia yang tidak rasionalistik, sehingga walaupun ditanamkan pola fikir yang rasional tetap saja mereka melakukan praktek korupsi.

  1. Efek-efek dari Praktek Korupsi
Orang yang bijaksana adalah mereka yang ketika melihat banyak terjadi kasus korupsi, mereka tidak berdiam diri tanpa berusaha untuk mencari solusi agar kasus-kasus korupsi tidak terulang kembali. Paling tidak, memberikan konsep bagi individu-individu di negeri ini agar bisa dijadikan sebagai metode untuk mengintegrasikan moral dalam dirinya, sehingga tidak terjerumus untuk melakukan praktek korupsi.
Adapun efek-efek yang ditimbulkan dari praktek korupsi[7] adalah
Ä  Bagi dirinya sendiri berupa nilai negatif di mata publik, jatuhnya harga diri (muru’ah), merusak karier, dan hukuman penjara baginya.
Ä  Efek bagi publik secara luas yakni berupa terganggunya kepentingan orang banyak.
Ä  Efek bagi negara berupa kerugian material yang tak terhitung jumlahnya, menurunkan kepercayaan para investor sehingga menghambat investasi dan menguras energi dan dana negara untuk memberantasnya yang seharusnya energi dan dana itu bisa difokuskan untuk menyelesaikan masalah lain yang semakin rumit.

  1. Peran Agamawan Terhadap Praktek Korupsi
Dalam upaya pemberantasan korupsi, keterlibatan semua pihak adalah salah satu prasyarat yang tidak bisa dihindarkan. Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil tanpa dukungan banyak kalangan. Salah satu komponen yang memiliki peran strategis dalam membangun gerakan sosial anti korupsi adalah tokoh-tokoh agama yang dalam kehidupan masyarakat memegang peran cukup sentral. Keterlibatan agamawan dalam upaya pemberantasan korupsi akan memberikan motivasi dan dorongan yang kuat bagi masyarakat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dalam menggalakkan upaya pemberantasan korupsi di tanah air, Islam sebagai agama dapat berperan dalam beragam bentuk sebagaimana berikut ini[8] :
Ø  Pertama, nilai-nilai moralitas yang diajarkan Islam diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap kian menyebarnya praktek korupsi. Untuk itu, diperlukan radikalisasi interpretasi terhapap nilai-nilai moralitas yang diajarkan Islam. Di sini diharapkan agar persoalan korupsi mendapatkan perhatian yang memadai dalam kajian-kajian atau interpretasi nilai-nilai moralitas Islam.
Ø  Kedua, agar nilai-nilai moralitas Islam tersebut dapat berfungsi sebagai modal untuk membangun etika sosial baru yang memberdayakan rakyat kecil dan memandang korupsi sebagai kejahatan yang harus dilawan bersama. Etika sosial baru ini dapat mendorong masyarakat untuk senantiasa menjauhkan diri dari praktek korupsi, melahirkan semangat mendorong upaya pemberantasan korupsi dengan mencegah, mengawasi, melaporkan dan jika mungkin memperbaiki sejumlah mekanisme sanksi sosial yang hidup di masyarakat yang diberlakukan kepada setiap orang atau kelompok yang melakukan korupsi. Dalam konteks tersebut, nilai-nilai moralitas ini pun diharapkan dapat diturunkan dalam kerangka aturan-aturan hukum Islam (fiqih) mengenai korupsi.
Ø  Selanjutnya, untuk memperoleh pengejawantahan yang memadai, peran ketiga yang dapat dilakukan adalah agar nilai-nilai moralitas Islam dapat diajukan sebagai salah satu sumber bagi penyusunan aturan-aturan hukum maupun suplemen kebijakan yang berpengaruh bagi kemaslahatan umat, dengan orientasi pemberdayaan masyarakat kecil dan penekanan terhadap praktek korupsi. Tidak ada yang membantah bahwa korupsi merupakan tindakan yang bathil.

  1. Pemberantasan Korupsi dengan Pendekatan Islam
Berbicara tentang agama, setidaknya ada dua hal yang patut diperhatikan, yaitu: pertama adalah mengenai nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam ajaran-ajaran yang disampaikan agama. Kedua, mengenai institusi sosial keagamaan sebagai penyokong berjalannya kehidupan beragama.
Dalam konteks perlawanan terhadap tindakan korupsi yang makin akut di Indonesia, peranan institusi sosial keagamaan menjadi sangat penting sebagai pendorong. Dari segi ini, institusi sosial keagamaan mestinya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu garda depan dalam upaya pemberantasan korupsi, bergandengan tangan dengan gerakan anti korupsi dari kalangan masyarakat lainnya.
Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama strategis sesuai dengan perannya masing-masing dalam upaya pemberantasan korupsi. Dari sini, institusi sosial kegamaan dengan agamawan perlu mendapatkan penekanan mengingat posisi strategisnya di dalam kehidupan masyarakat.
Beberapa langkah konkrit mendesak di ambil terutama ketika kita sepakat korupsi adalah musuh bersama bagi bangsa ini dan kejahatan luar biasa yang tidak terampuni[9].
Pertama, jaringan sinergi social seperti di prakarsai NU-Muhammadiah untuk memerangi korupsi harus dikembangkan secara lebih massif di tingkat nonstructural. Langkah semacam ini menjadi exemplary action yang patut di contoh lembaga-lembaga social masyarakat yang lain.
Kedua, langka pertama itu harus dikerangkai sistem teologi baru yang lebih akseologis, yakni jihad melawan korupsi di seluruh jenjang dan lini kehidupan sekali lagi, ini dimaksudkan memberi basis normatif yang jelas dan terarah.
Ketiga, langkah di seminasi doktrin jihad melawan korupsi harus di korparasikan dengan pranata stategis kelembagaan agar bisa diakses seluruh lapisan masyarakat, terutama generasi muda, sebab pendidikan adalh langkah efektif membangun peradaban.
Keempat, membangun personifikasi atau pencintraan kesyahidan baru yang relevan dengan tuntutan pemberantasan korupsi. Kalau perlu, seluruh elemen masyarakat mendesak agar Negara mengangkat para mujahid yang mati dalam pemberantasan korupsi sebagai pahlawan Nasional di satu sisi, dan tak segan-segan merupakan capital punishment bagi para koruptor kakap di sisi lain.
Sebagai kejahatan luar biasa, pemberantasan korupsi hanya bisa berhasil melalui cara-cara yang luar biasa pula. Sebab masyarakat mulai meragukan cara-cara structural yang justru terkesan kian menumbuhsuburkan praktek korupsi.

 


BAB IV
KESIMPULAN

Urgensi perang suci melawan korupsi salah satunya di dorong merebaknya berbagai anomali menyangkut pembacaan atas doktrin agama yang secara langsung atau tidak menjadi ”landasan pacu” bagi merebaknya perbuatan korupsi. Agama apapun pasti melarang perbuatan korupsi. Dan pelaku korupsi pun tahu pasti agama apapun melarang dan mengutuk tindakan itu. Mungkin dengan pendekatan agama bisa dipakai untuk pencegahan yang bersifat kultural. Paradoks itu menunjukkan bahwa ibadah ritual yang tidak bermutu tidak berdampak positif bagi para prilaku. 
Singkatnya, dalam upaya memberantas korupsi, peranan agamawan (ulama, kyai, ustadz, da’i) dengan institusi sosial keagamaannya sangatlah strategis. Agamawan yang memiliki kedekatan dengan masyarakat tentu sangat efektif dalam menyosialisasikan pesan-pesan agama anti korupsi. Apalagi, pada kenyataannya, dalam struktur sosial-politik Indonesia, agamawan mempunyai legitimasi dan pengaruh yang luas, yang jauh melampaui sekadar fungsi-fungsi spiritual. Sehingga pada sisi ini, gerakan sosial anti korupsi yang terpusat di kalangan tokoh agama harus dimaknai sebagai sebuah gerakan moral, yang diharapkan memiliki implikasi politik
Pemberantasan korupsi atau dan lainnya, yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip luhur, itu hanya akan melahirkan kekerasan atau anarkisme serta diyakini tidak akan pernah mematikan akar-akar kejahatan tersebut.

BAB V
PENUTUP

Demikianlah makalah ini kami buat. Dengan makalah ini semoga dapat memberikan manfaat lebih banyak bagi kita semua, dan semoga kalangan luas tergugah termasuk para agamawan untuk memikirkan jalan terbaik untuk memberantas korupsi di Indonesia. Oleh sebab itu harus diusahakan agar hari esok lebih baik daripada hari kemarin. Dan kami menyadari makalah ini masih kurang sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rafi’, Abu Fida’, 2004, Terapi Penyakit Korupsi, Jakarta : Penerbit Republika,       cet 1.

Binawan, Al Andang L. 2006, Korupsi Kemanusiaan, Jakarta : Penerbit Buku       Kompas, Cet 1.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 1995, Strategi Pemberantasan   Korupsi Nasional, Jakarta : Pusat Pendidikan dan Latihan, cet 1.

Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi, Jakarta : Yayasan Obor           Indonesia, edisi 1.

Pustaka Nasional; Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2005 Jihad Melawan Korupsi,   Jakarta : Buku Kompas, cet 1.

            http://www.lakpesdam.or.id/index.phad?id=68, di akses pada tanggal 21/03/2008

            http://www.lakpesdam.or.id/index.phad?id=68, di akses pada tanggal 21/03/2008




                [1] Al Andang L. Binawan, Korupsi Kemanusiaan, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas), 2006, Cet 1, hal xii
                [2] Ibid, hal xiv.
                [3] http://www.lakpesdam.or.id/index.phad?id=68, di akses pada tanggal 21/03/2008
                [4] Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Yayasan Obor Indonesia : Jakarta), edisi 1, 2003, hal 9
                [5] Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, (Pusat Pendidikan dan Latihan : Jakarta), cet 1, 1995, hal 83
                [6] Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi, (Jakarta : Penerbit Republika), 2004, cet 1, hal xxi-xxiii.
                [7] Abu Fida’ Abdur Rafi’, op cit, hal xxiv
                [8] http://www.lakpesdam.or.id/index.phad?id=68, di akses pada tanggal 21/03/2008
                [9] Pustaka Nasional; Katalog Dalam Terbitan (KDT), Jihad Melawan Korupsi, (Jakarta : Buku Kompas), 2005, cet 1, hal 105-106.

2 komentar: