BAB I
PENDAHULUAN
Kasus
korupsi di tanah air benar-benar mewabah. Selain telah merasuki infrastruktur
kenegaraan baik di tingkat pusat sampai daerah, korupsi pun telah menjangkiti
institusi-institusi sosial dan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hubungan
tinggi-rendahnya tingkat korupsi di sebuah negara dengan tingkat keberagamaan
(religiusitas) negara terkadang sulit ditentukan.
Negara yang
dikenal sangat religius seperti Indonesia, dalam beberapa survei justru meraih
rekor yang sangat tinggi dalam urusan korupsi. Sebaliknya, sejumlah negara
sekuler yang abai pada agama, justru berhasil menekan tingkat korupsi hingga
pada tingkatan yang paling minim. Padahal, jika merujuk doktrin-doktrin
normatif agama yang amat ideal (dalam hal ini Islam), Indonesia -sebagai negara
dengan populasi muslim paling besar di dunia - tidak sepantasnya menduduki
peringkat negara terkorup. Permasalahannya, mengapa hal itu bisa terjadi?
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan
mengenai Pemberantasan Korupsi Dengan Nilai-nilai Islam ini selanjutnya
disajikan dengan sistematika pembahasan sebagai berikut :
a) Arti korupsi dalam perspektif islam
b) Penyebab timbulnya praktek korupsi
c) Efek-efek dari praktek korupsi
d) Peran agamawan terhadap praktek korupsi
e) Pemberantasan korupsi dengan pendekatan
islam
BAB III
PEMBAHASAN
- Arti Korupsi dalam Perspektif Islam
Kalau
ditelusuri, kata korupsi yang berasal dari kata corruptio (Latin) sebenarnya sudah disepakati sejak zaman para
filsuf Yunani kuno. Aristoteles misalnya, memakai kata itu dalam judul bukunya De Generation et Corruptione. Dalam
pemahaman Aristoteles, kata korupsi – yang ditempatkan dalam konteks filsafat
alamnya- lebih berarti perubahan, meski punya warna ”penurunan”. Dalam arti ini secara semantis kata
korupsi masih jauh dari kata kekuasaan, apalagi uang.[1]
Namun dalam
pemahaman umum, korupsi diartikan sebagai penyalagunaan jabatan atau kekuasaan
publik untuk keuntungan privat. Makna ini, jika dibandingkan dengan makna awal korupsi di masa Yunani kuno
tadi seperti telah dicermati, mengalami reduksi atau penyempitan makna yang
cukup besar. Karena ini lebih berkaitan dengan perkembangan makna, reduksi ini
tidak bisa diartikan sebagai korupsi, apalagi dalam arti yuridis yang banyak
dipahami. Hanya saja tidak
setiap reduksi makna bersifat netral secara moral. Jika reduksi itu memang di
sengaja untuk kepentingan pribadi, reduksi menjadi korupsi. Dalam hal ini,
reduksi bisa tampak sebagai distorsi. Ada kesengajaan. Ada perkara nilai di
dalamnya. Dan ada pula keuntungan yang mau di gapai. Biasanya distorsi makna di
buat untuk menyembunyikan sebuah tindakan koruptif.[2]
Korupsi
berkaitan dengan penyalagunaan kekuasaan yang memberikan muatan moral pada
korupsi. Di banding kata corruptio dalam
pemahaman Aristoteles, muatan moral kata korupsi dewasa ini sangatlah kental.
Pendeknya, korupsi bukan lagi bermakna netral, melainkan sudah menjadi perkara moral.
Muatan moral itu menjadi jelas ketika unsur kesengajaan dalam penyalagunaan
kekuasaan itu ditonjolkan. Karena itu pula, unsur agency lalu masuk dalam perhitunngan. Dalam pemahaman baru, hanya
manusia yang notabene punya kekuasaan dan kebebasan, yang bisa melakukan
korupsi.
Adapun dalam
kontek ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas (al-amanah),
dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan
berbagai kerusakan terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan
dalam perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang amat dikutuk Allah
SWT[3].
Korupsi itu
merusak, dan alasannya sederhana saja, yakni, karena keputusan-keputusan
penting diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, tanpa
memperhitungkan akibat-akibatnya bagi publik[4].
Muhammad Ali
Al-Shabuni, dalam kitabnya, Rawai’u al-Bayan (jilid I hal. 546) menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan al-fasad, yaitu segala perbuatan yang
menyebabkan kehancurkan kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat
teror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau
merampas harta orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat tersebut,
korupsi sama buruk dan jahatnya dengan terorisme.
- Penyebab Timbulnya Praktek Korupsi
Apabila
dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat
berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai
keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan tindakan korupsi.[5]
Praktek
korupsi terjadi karena individu tidak mempunyai nilai-nilai moral yang dapat
mencegah korupsi yang akan dilakukannya. Hal situasional seperti adanya peluang
korupsi tidak akan mendukung terjadinya korupsi apabila individu memiliki
nilai-nilai moral yang terintegrasi menjadi kepribadiaan yang kokoh.
Metode untuk
mengintegrasikan moral pada tiap individu dapat dilakukan dengan tiga
pendekatan[6],
yaitu :
Pertama,
Pendekatan rasionalistik,
yakni menanamkan moral dengan konsep-konsep yang bersifat rasional, misalnya
dengan menanamkan pola fikir bahwa korupsi merupakan perbuatan yang merusak dan
menghancurkan diri, lingkungan dan negara. Dengan pendekatan ini akan tertanam
pada individu bahwa korupsi merupakan perbuatan yang harus dihindarkan dalam
dirinya.
Kedua, pendekatan
spiritualistik, yakni menanamkan
moral dengan konsep-konsep yang bersifat spiritual yaitu dengan menanamkan rasa
takut kepada tuhan dan azab-Nya. Dengan pendekatan ini akan diperoleh individu
yang takut kepada Tuhan dan azab-Nya, sehingga dirinya dapat menghindari untuk
melakukan praktek korupsi.
Ketiga,
Pendekatan kombinasi antara rasionalistik dan spiritualistik, yaitu dengan menggabungkan pendekatan
pertama dan kedua secara bersamaan, yakni di samping menggunakan cara-cara yang
rasionalistik, juga menggunakan metode-metode spiritualistik.
Untuk
pendekatan pertama yakni pendekatan rasionalistik tidaklah cocok untuk
diterapkan sebagian individu di Indonesia. Argumen ini adanya bukti dengan
maraknya praktek korupsi yang dilakukan oleh kalangan akademisi dan cendekiawan
yang banyak di antara mereka berpendidikan pasca sarjana. Padahal,
kalangan-kalangan tersebut merupakan orang-orang yang mempunyai pola fikir yang
rasional.
Adapun
maraknya praktik korupsi pada kalangan tersebut ada dua kemungkinan, yakni:
a)Gagalnya sistem pendidikan nasional.
Pendidikan nasional belum mampu membentuk individu-individu yang rasional yang
mampu mencega praktek korupsi dalam dirinya.
b) Karakter masyarakat Indonesia yang tidak
rasionalistik, sehingga walaupun ditanamkan pola fikir yang rasional tetap saja
mereka melakukan praktek korupsi.
- Efek-efek dari Praktek Korupsi
Orang yang
bijaksana adalah mereka yang ketika melihat banyak terjadi kasus korupsi,
mereka tidak berdiam diri tanpa berusaha untuk mencari solusi agar kasus-kasus
korupsi tidak terulang kembali. Paling tidak, memberikan konsep bagi
individu-individu di negeri ini agar bisa dijadikan sebagai metode untuk
mengintegrasikan moral dalam dirinya, sehingga tidak terjerumus untuk melakukan
praktek korupsi.
Adapun
efek-efek yang ditimbulkan dari praktek korupsi[7]
adalah
Ä Bagi dirinya sendiri berupa nilai negatif
di mata publik, jatuhnya harga diri (muru’ah),
merusak karier, dan hukuman penjara baginya.
Ä Efek bagi publik secara luas yakni berupa
terganggunya kepentingan orang banyak.
Ä Efek bagi negara berupa kerugian material
yang tak terhitung jumlahnya, menurunkan kepercayaan para investor sehingga
menghambat investasi dan menguras energi dan dana negara untuk memberantasnya
yang seharusnya energi dan dana itu bisa difokuskan untuk menyelesaikan masalah
lain yang semakin rumit.
- Peran Agamawan Terhadap Praktek Korupsi
Dalam upaya
pemberantasan korupsi, keterlibatan semua pihak adalah salah satu prasyarat
yang tidak bisa dihindarkan. Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil
tanpa dukungan banyak kalangan. Salah satu komponen yang memiliki peran
strategis dalam membangun gerakan sosial anti korupsi adalah tokoh-tokoh agama
yang dalam kehidupan masyarakat memegang peran cukup sentral. Keterlibatan
agamawan dalam upaya pemberantasan korupsi akan memberikan motivasi dan
dorongan yang kuat bagi masyarakat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan
korupsi.
Dalam
menggalakkan upaya
pemberantasan korupsi di tanah air, Islam sebagai agama dapat berperan dalam
beragam bentuk sebagaimana berikut ini[8] :
Ø Pertama,
nilai-nilai moralitas yang diajarkan Islam diharapkan dapat memberikan jawaban
terhadap kian menyebarnya praktek korupsi. Untuk itu, diperlukan radikalisasi interpretasi terhapap nilai-nilai
moralitas yang diajarkan Islam. Di sini diharapkan agar persoalan korupsi
mendapatkan perhatian yang memadai dalam kajian-kajian atau interpretasi nilai-nilai
moralitas Islam.
Ø Kedua, agar nilai-nilai moralitas Islam
tersebut dapat berfungsi sebagai modal untuk membangun etika sosial baru yang
memberdayakan rakyat kecil dan memandang korupsi sebagai kejahatan yang harus
dilawan bersama. Etika sosial baru ini dapat mendorong masyarakat untuk
senantiasa menjauhkan diri dari praktek korupsi, melahirkan semangat mendorong
upaya pemberantasan korupsi dengan mencegah, mengawasi, melaporkan dan jika
mungkin memperbaiki sejumlah mekanisme sanksi sosial yang hidup di masyarakat
yang diberlakukan kepada setiap orang atau kelompok yang melakukan korupsi.
Dalam konteks tersebut, nilai-nilai moralitas ini pun diharapkan dapat
diturunkan dalam kerangka aturan-aturan hukum Islam (fiqih) mengenai korupsi.
Ø Selanjutnya, untuk memperoleh
pengejawantahan yang memadai, peran ketiga yang dapat dilakukan adalah agar
nilai-nilai moralitas Islam dapat diajukan sebagai salah satu sumber bagi
penyusunan aturan-aturan hukum maupun suplemen kebijakan yang berpengaruh bagi
kemaslahatan umat, dengan orientasi pemberdayaan masyarakat kecil dan penekanan
terhadap praktek korupsi. Tidak ada yang membantah bahwa korupsi merupakan
tindakan yang bathil.
- Pemberantasan Korupsi dengan Pendekatan Islam
Berbicara tentang agama, setidaknya ada dua hal yang patut diperhatikan,
yaitu: pertama adalah mengenai nilai-nilai moralitas yang terkandung
dalam ajaran-ajaran yang disampaikan agama. Kedua, mengenai institusi
sosial keagamaan sebagai penyokong berjalannya kehidupan beragama.
Dalam
konteks perlawanan terhadap tindakan korupsi yang makin akut di Indonesia,
peranan institusi sosial keagamaan menjadi sangat penting sebagai pendorong.
Dari segi ini, institusi sosial keagamaan mestinya dapat dipertimbangkan
sebagai salah satu garda depan dalam upaya pemberantasan korupsi, bergandengan
tangan dengan gerakan anti korupsi dari kalangan masyarakat lainnya.
Oleh karena
itu, perlu adanya kerja sama strategis sesuai dengan perannya masing-masing
dalam upaya pemberantasan korupsi. Dari sini, institusi sosial kegamaan
dengan agamawan perlu mendapatkan penekanan mengingat posisi strategisnya di
dalam kehidupan masyarakat.
Beberapa langkah
konkrit mendesak di ambil terutama ketika kita sepakat korupsi adalah musuh
bersama bagi bangsa ini dan kejahatan luar biasa yang tidak terampuni[9].
Pertama, jaringan sinergi social
seperti di prakarsai NU-Muhammadiah untuk memerangi korupsi harus dikembangkan
secara lebih massif di tingkat nonstructural. Langkah semacam ini menjadi exemplary action yang patut di contoh
lembaga-lembaga social masyarakat yang lain.
Kedua, langka pertama itu harus
dikerangkai sistem teologi baru yang lebih akseologis, yakni jihad melawan
korupsi di seluruh jenjang dan lini kehidupan sekali lagi, ini dimaksudkan
memberi basis normatif yang jelas dan terarah.
Ketiga, langkah di seminasi doktrin
jihad melawan korupsi harus di korparasikan dengan pranata stategis kelembagaan
agar bisa diakses seluruh lapisan masyarakat, terutama generasi muda, sebab
pendidikan adalh langkah efektif membangun peradaban.
Keempat, membangun personifikasi atau
pencintraan kesyahidan baru yang relevan dengan tuntutan pemberantasan korupsi.
Kalau perlu, seluruh elemen masyarakat mendesak agar Negara mengangkat para
mujahid yang mati dalam pemberantasan korupsi sebagai pahlawan Nasional di satu
sisi, dan tak segan-segan merupakan capital
punishment bagi para koruptor kakap di sisi lain.
Sebagai
kejahatan luar biasa, pemberantasan korupsi hanya bisa berhasil melalui
cara-cara yang luar biasa pula. Sebab masyarakat mulai meragukan cara-cara
structural yang justru terkesan kian menumbuhsuburkan praktek korupsi.
BAB IV
KESIMPULAN
Urgensi
perang suci melawan korupsi salah satunya di dorong merebaknya berbagai anomali
menyangkut pembacaan atas doktrin agama yang secara langsung atau tidak menjadi
”landasan pacu” bagi merebaknya perbuatan korupsi. Agama apapun pasti melarang
perbuatan korupsi. Dan pelaku
korupsi pun tahu pasti agama apapun melarang dan mengutuk tindakan itu. Mungkin dengan pendekatan agama bisa
dipakai untuk pencegahan yang bersifat kultural. Paradoks itu menunjukkan bahwa
ibadah ritual yang tidak bermutu tidak berdampak positif bagi para prilaku.
Singkatnya,
dalam upaya memberantas korupsi, peranan agamawan (ulama, kyai, ustadz, da’i)
dengan institusi sosial keagamaannya sangatlah strategis. Agamawan yang
memiliki kedekatan dengan masyarakat tentu sangat efektif dalam
menyosialisasikan pesan-pesan agama anti korupsi. Apalagi, pada kenyataannya,
dalam struktur sosial-politik Indonesia, agamawan mempunyai legitimasi dan
pengaruh yang luas, yang jauh melampaui sekadar fungsi-fungsi spiritual.
Sehingga pada sisi ini, gerakan sosial anti korupsi yang terpusat di kalangan
tokoh agama harus dimaknai sebagai sebuah gerakan moral, yang diharapkan
memiliki implikasi politik
Pemberantasan
korupsi atau dan lainnya, yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip luhur, itu
hanya akan melahirkan kekerasan atau anarkisme serta diyakini tidak akan pernah
mematikan akar-akar kejahatan tersebut.
BAB V
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat. Dengan makalah ini
semoga dapat memberikan manfaat lebih banyak bagi kita semua, dan semoga
kalangan luas tergugah termasuk para agamawan untuk memikirkan jalan terbaik
untuk memberantas korupsi di Indonesia. Oleh sebab itu harus diusahakan agar hari
esok lebih baik daripada hari kemarin. Dan kami menyadari makalah ini masih
kurang sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rafi’, Abu Fida’, 2004, Terapi Penyakit Korupsi, Jakarta :
Penerbit Republika, cet 1.
Binawan, Al Andang L. 2006, Korupsi Kemanusiaan, Jakarta :
Penerbit Buku Kompas, Cet 1.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 1995, Strategi Pemberantasan Korupsi
Nasional, Jakarta : Pusat Pendidikan dan Latihan, cet 1.
Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi, Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, edisi 1.
Pustaka Nasional; Katalog Dalam
Terbitan (KDT), 2005 Jihad Melawan
Korupsi, Jakarta : Buku Kompas, cet 1.
thanks Bray Infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id
mantaaabbb . . . .
BalasHapus