Rasa apakah yang menyelimutiku selama ini ?. pasrah, ketololan, kedustaan, atau taat pada orang tua. Menjalani kehidupan yang jauh dari angan. Hari-hari menjadi hambar. Langkah yang tak pernah ku harapkan, kini telah ku kejar. Inilah konsekwensi hidup yang harus aku lalui. Langkah sebuah pilihan yang ku tempuh. Ambisi orang tua yang ingin menjadikan aku sebagai salah satu kader dokter yang mengabdikan diri ke masyarakat umum. Harapan yang mulia memang. Tapi ini bukan aku. Bukan hasratku ingin menjamahnya. Aku ingin menjadi sosok yang lain. Seorang penulis yang bebas mengekspresikan pikirannya.
Meniti sebuah langkah yang jauh dari angan, telah membuatku tertekan. Aku terombang-ambing dengan ketidak pastian. Setiap hari aku memenuhi kewajibanku sebagai seorang mahasiswa. Duduk manis mengikuti perkuliahan, tapi pikiran melayang entah kemana.
Aku hanya mencoba memenuhi tugasku sebagai seoarng anak yang berbakti kepada orang tua. Tapi kadang terlintas dalam benak, bakti kepada orang tua atau sebuah penyiksaan diri belaka.
Orang tuaku masuk kategori otoroter banget. Perintahnya tak bisa sedikitpun dapat dielakkan lagi. Tapi, bertolak dari itu semua, aku ingin hidup mandiri. Tanpa ada rasa tekanan dari orang sekitar. Aku ingin melangkah tanpa ada rasa kebimbangan. Menatap hidup dengan senyuman. Tapi aku tak mempunyai cukup kesanggupan. Tiap kali aku ingin melakukannya. Tiap itu pula bayangan orang tua terus mengiang dan mengusik jiwa. Dengan parau mereka berkata, “Apakah ini, balasan seorang anak pada orang tua yang telah membesarkan anaknya……..?”.
Tak ada sedikitpun terlintas maksud hati untuk membangkang pada mereka. Aku cukup tahu diri. Sebagai anak aku harus berbakti pada mereka, sebagai balasan jasa terhadap apa yang telah mereka lakukan padaku sampai sekarang. Serta curahan kasih saying yang tak akan pernah pudar. Tapi apakah jasa-jasa itu harus aku bayar dengan jerita hati.
Anehnya, aku menikmati keadaan ini. Buktinya, aku bisa bertahan dengan melewati waktu yang bagiku sangat panjang, satu tahun lebih. Aku tunduk di bawah arus kehidupan. Memainkan sebuah peran yang mengalir tanpa ada perencanaan yang matang.
Aku hanya manusia biasa, yang mempunyai keterbatasan. Bagiku, mungkin inilah batas kesabaran yang aku punya. Sampai aku bisa mengumpulkan setumpuk keberanian untuk menantang lika-liku kehidupan. Aku sudah tak perduli apapun lagi. Aku harus bisa membuktikan kalau aku ukan anak kecil lagi, yang setiap apapun harus di atur, di awasi, dan tanpa ada campur tangann orang lain. Aku cukup tahu manakah yang terbaik buatku. Aku putuskan untuk pergi dari rumah, meninggalkan segalanya. Meninggalkan kemewahan yang sebenarnya telah membelenggu, meninggalkan aturan-aturan yang mengikat, tanpa ada jeda buatku untuk meluapkan apa yang ingin aku lakukan.
Ketika sang mentari mulai menyapa pagi. Akupun mulai mengayunkan langkah, mencoba mencari titik kedamaian yang selama ini ku nantikan. Namun, dalam hitungan jam saja, aku mulai merasakan kerasnya kehidupan luar. Mengenyam hidup dengan penuh luka dan derita. Tak sedikit orang yang berlalu lalang di pinggir jalan untuk mendapatkan sesuap nasi.
Dengan cermat aku mengamati pola kehidupan sekitar. Batinku terenyuh dengan masyarakat pinggiran. Mereka hidup dengan serba kekurangan. Rumah beralas koran dan penghasilan yang serba minim telah menjadi tumpuhan hidup mereka. Sungguh ironis. Kehidupan yang memekik dan penuh pergulatan, demi menantang perjalanan hidup mereka.
”Pak.......... anak ibu lagi sakit, butuh obat”.
Suara wanita paruh baya itu telah memudarkan lamunanku. Dengan menggendong anaknya yang lagi sakit, berpakaian compang-camping, menengadahkan tangan, serta wajah iba, telah meminta belas kasihan pada seorang laki-laki yang berumur 30-an. Berpenampilan yang rapi, berkemeja dan berdasi, memperlihatkan kalau dia dari kalangan atas.
Sayangnya, dengan garang. Ia menampakkan ketidakperduliannya. Berlalu pergi, dan dengan sengit ia mengumpat, ”emang gampang apa cari duit, kerja dong..........”.
Ada sedikit rasa kekecewaan yang tersirat dari wajah itu. Dengan berat, ia tersenyum pada anaknya yang mulai membuka mata, ”sabar ya Nak.........”. mungkin kata itulah yang terus mengalir untuk menenangkan buah hatinya yang tak berdaya. Akupun mencoba untuk mendekatinya, melakukan apa yang bisa aku lakukan untuk seorang ibu dan anak.
Tak punya belas kasihankah orang itu ?. mengapa ego telah menguasainya, dan mengalahkan rasa sosialnya.
Tanpa sengaja, aku bergumam, ”seandainya ada sukarelawan dokter disini, yang bersedia menolong. Pasti ibu itu seneng banget ”.
Deg................
Jantungkupun berdetak dengan kencangnya. Bukannya aku sendiri sebagai calon dokter. Seorang dokter yang diharapkan kedatangannya bagi orang yang membutuhkan.
Terlalu egokah aku... mengabaikan harapan orang tua yang telah mereka bebankan padaku. Padahal di balik itu semua ada nilai kebaikan tersendiri bagiku dan orang sekitar. Trus, apa bedanya aku dengan seoarang laki-laki tadi. Diharapkan bantuannya oleh orang lain tapi ia telah mengabaikannya.
Akupun memutuskan untuk kembali pulang. Menapaki sebuah jalan yang sudah ditetapkan. Toh, ini juga berguna bagiku, orang tua dan orang lain.
Rasa yang selama ini menggelegar adanya ketidakpuasan yang membesar. Meski tak gampang, akan ku coba untuk menguburnya dalam-dalam. Aku akan menyibak semua tirai kedustaan, biar menjadi rasa pengabdian yang benar-benar ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar